Sunday, December 26, 2021

ADA GURU YANG TIDAK PERNAH NGAJAR

Oleh: Toto Suharya

Banyak orang berpendapat bahwa karakter tidak bisa diajarkan, karena karakter seharusnya dilakukan. Bagi yang tidak paham pendidikan pernyataan ini bisa saja benar, dan parahnya pendidikan karakter seolah-olah tidak butuh pengetahuan. Muncullah masalah bahwa pendidikan saat ini teralu fokus pada pengetahuan dan tidak mengajarkan tentang karakter. Akhirnya ramai-ramailah menghujat pembelajaran kognitif sebagai biang kerok pendidikan tidak berkualitas.

Menarik untuk disimak teori pengetahuan dari Descartes, “semua aksi fisik merupakan akibat. Semua akibat terjadi sebagai sebuah wujud dari pikiran” (Russel, 2016). Pernyataan Descartes ini akan menjebak kita pada subjektivitas yang tinggi, mengarah pada pengkultusan pikiran sebagai sebab. Namun pesan yang harus kita tangkap di sini adalah kemampuan berpikir pada manusia menjadi hal penting dalam memahami realitas dan bahkan memahami keberadaan Tuhan. Sebagaimana di dalam kita suci Al-Qur’an Allah memerintahkan berulang-ulang pada manusia untuk berpikir. Intinya, berpikir menjadi faktor penting bagi peningkatan kualitas manusia terutama digunakan dalam dunia pendidikan.

Imanuel Kant memandang bahwa seluruh perubahan berlangsung sesuai dengan hukum hubungan sebab dan efek. Sementara Al-Gazhali menolak hukum kausalitas karena khawatir manusia akan terjebak pada kebenaran kausalitas yang hanya dilihat dari fakta empiris, sehingga mengabaikan kebenaran-kebenaran ilahiah (Abdullah, 2002). Penulis berpandangan bahwa kausalitas harus dipandang sebagai kehendak Tuhan. Jadi segala sesuatu yang terjadi tidak akan lepas dari kehendak Tuhan. Dengan demikian setiap kejadian yang dipahami secara faktual pada hakikatnya adalah dari Tuhan. Lantas tidak menjadi manusia harus berhenti memahami kausalitas-kausalitas di alam, karena Allah menciptakan miliaran bahkan triliunan kausalitas yang saling berhubungan.

Akal, alam, dan Tuhan adalah tiga objek yang pasti selalu mewarnai tindakan manusia. Pandangan saya dalam hal ini, Tuhan adalah sebab, sementara pikiran dan alam nyata adalah kehendak-Nya. Manusia diberi kemampuan untuk menggali berbagai pengetahuan dari akal dan alam. Tuhan menjadi sebab utama, sementara akal (pikiran) dan alam (tindakan) adalah akibat. Sementara apa yang dilakukan manusia dan terjadi di alam berlaku sebab akibat sesuai ketentuan Tuhan Yang Maha Luas Pengetahuannya. Sepertinya pendapat saya seperti keterpkasaan manusia pada Tuhan, namun tidak demikian karena Tuhan Maha Luas Pengetahuannya.

Kembali pada pengajaran karakter, dengan padangan di atas saya menyimpulkan bahwa seluruh prilaku manusia adalah akibat dari pengetahuan yang dipikirkannya. Sekalipun ada tindakan-tindakan yang tidak disadari, bukan berarti tidak ada keterlibatan pikiran. Tindakan-tindakan yang tidak disadari adalah sebuah tindakan berdasar pengetahuan yang telah melalui proses pemikiran dengan kecepatan tinggi. Pada awalnya anak kecil tidak tahu api panas, pada saat menyentuh api pikirannya memperoses dengan cepat sehingga menghasilkan gerakan reflek. Pengetahuan ini tersimpan dan selanjutnya anak akan menjauhi api berdasarkan pengetahuan yang telah dimilikinya. Oeh karena itu, pendidikan adalah mengajarkan anak-anak untuk melakukan hal-hal yang baik yang bisa membawa keberuntungan dirinya, dan menjauhi perbuatan-perbuatan buruk yang dapat merugikan dirinya.

Dalam hal ini saya ingin menyampaikan, bahwa dalam kontek pendidikan, pendidikan karakter tetap pada dasarnya bermuara pada seperangkat pengetahuan yang harus dimiliki anak-anak agar dengan pengetahuan tersebut anak-anak bisa melakukan hal-hal yang baik untuk dirinya dan bermanfaat bagi orang lain. Jenis pengetahuan dalam pendidikan terbagi menjadi tiga yaitu, pengetahuan untuk melatih kemampuan berpikir (fokus pada teori mata pelajaran), pengetahuan untuk menimbulkan efek senang (fokus pada harapan-harapan baik di masa depan), dan pengetahuan sebagai pedoman bertindak (pengetahuan tentang pekerjaan teknis).

Dalam pandangan sekuler ketiga jenis pengetahuan di atas, pada prakteknya dikategorokan secara terpisah sehingga implentasinya terpisah-pisah. Kadang pembelajaran cenderung pada pengetahuan-pengetahuan teori pada jurusan, mata pelajaran, dan sedikit sekali memiliki pengetahuan harapan-harapan baik, dan pedoman pola tindak. Pada akhirnya pembelajaran menjadi kurang bermakna dan kegiatan yang tidak menyenangkan serta tidak menyelesaikan masalah-masalah kehidupan yang kelak dihadapi anak-anak dalam realitas kehidupan.   

Sebagai kritikan terhadap pengajaran di atas, ketiga jenis pengetahuan harus dintegrasikan dalam sebuah pembelajaran. Pembelajaran harus mengajarkan pengetahuan yang melatih nalar, membuka harapan-harapan baik dan menjadi pedoman bertindak dalam kehidupan. Pengetahuan apa yang harus diajarkan dan bagaimana cara mengajarkannya?

Pengetahuan Etika

Pengetahuan etika berisi tentang teori-teori tentang tata cara bagaimana manusia berhubungan dengan sesama manusia, alam dan Tuhan. Pengetahuan-pengetahuan ini secara sinergis bisa dijelaskan di dalam pelajaran agama dan budi pekerti. Pengajaran agama diajarkan untuk membangun harmonisasi kehidupan antar sesama umat manusia yang sama-sama menghuni satu planet bumi. Etika-etika kehidupan dalam agama bisa dijelaskan dalam bahasa logika yang mengajak kepada semua umat manusia untuk berbuat sesuatu yang memberi manfaat pada manusia dan alam sebagaimana Tuhan memerintahkan.  Semua mata pelajaran harus bisa mengupas masalah-masalah etika dari sudut pandang kajian ilmu-ilmu yang digelutinya. Pengetahuan ini akan membawa anak-anak menjadi sosok berakhlak dan beriman kepada Tuhan.

Pengetahuan harapan

Pengetahuan harapan adalah sebuah pandangan ke masa depan yang dibentuk oleh pengetahuan-pengetahuan yang membawa efek senang. Sebagaimana dalam bagian fungsi otak berfungsi mengontrol efek perasaan. Dalam dunia pendidikan diharapkan anak-anak terus diberi informasi yang dapat membawa efek senang sehingga dapat terus memotivasi anak-anak untuk semangat belajar. Pengetahuan-pengetahuan harapan itu bisa dibangun dari pelajaran agama, dan seluruh mata pelajaran yang membawa kabar baik bagi anak-anak di masa depan. Khususnya mata pelajaran sejarah, yang bisa dikemas menjadi pelajaran tentang harapan hidup di masa depan. Pengetahuan ini akan membawa anak-anak berjiwa optimis, tekun, dan produktif serta tetap beriman pada Tuhan.  

Pengetahuan Teknis

Pengetahuan teknis adalah seperangkat pengetahuan yang bermanfaat bagi anak-anak yang dapat menjadi pola tindak, berupa pengetahuan keterampilan berpikir dan keterampilan fisik mekanik. Diawali dari pelajaran agama yang mengajarkan ketermpilan berpikir, sampai kepada mata-mata pelajaran alam yang bisa mengajarkan pengetahuan keterampilan teknik. Keterampilan teknik ini menjadi modal mereka untuk bisa berkarya nyata untuk kehidupan dirinya dan orang lain. Pengetahuan ini akan membawa anak-anak menjadi manusia-manusia pekerja keras, kreatif, dan beriman kepada Tuhan.    

 Metode Pengajaran Merdeka

Pengajaran adalah sebuah tindakan kreatif dan dinamis. Untuk itu tidak akan pernah akan ada satu metode pengajaran baku yang dapat terus menerus dilakukan secara seragam oleh semua guru. Pengajaran sangat subjektif dan tergantung kepada siapa pelakunya. Sekalipun guru distandardisasi melalui program sertifikasi, tidak berarti setiap guru akan bertindak sama dalam pelaksanakan pengajarannya. Standardisasi hanya bisa dilakukan pada tataran kerangka berpikir substansi pengetahuan apa yang harus dialkukan agar pengajarannya punya efek sama pada anak-anak. Tiga jenis pengetahuan yaitu etika, harapan, dan teknis adalah standardisasi bagi siapa saja guru yang akan melakukan pengajaran.

Pada tataran aplikasi guru memiliki kebebasan untuk mengajarkan ketiga pengetahuan di atas dengan berbagai macam gaya dan pendekatan. Guru merdeka, seperti ada beberapa orang yang akan berenang menyebarang sungai, setiap orang tentu diberi kebebasan untuk menggunakan berbagai macam gaya yang dikuasinya yang penting bisa menyebrang sungai. Guru tidak seperti orang yang mau lomba renang, untuk menuju suatu tujuan harus menggunakan gaya yang sama.  Untuk itu, pendidikan bukan lomba tetapi sebuah kerjasama untuk melahirkan tujuan yang sama dengan memberi kebebasan untuk mengajarkan tiga pengetahuan sesuai dengan kompetensi guru yang dimilikinya.

Idealnya dalam setiap pengajaran, guru memberi masukkan ketiga ranah pengetahuan yang harus dimiliki anak. Pendekatan yang digunakan adalah pengajaran terpadu berbasis pada tema. Namun demikian ada keterbatasan para guru mengajar dengan model ini. Bagi mereka yang memiliki keterbatasan dalam mengajarkan model terpadu, secara parsial masih bisa dilakukan hanya tetap tiga ranah pengetahuan etika, harapan, dan teknis harus menjadi kerangka acuan dalam pengajaran. Dalam pendekatan parsial agama bisa mengajarkan etika-etika kehidupan, sejarah, sosiologi, geografi bisa mengajarkan harapan-harapan hidup sejahtera, dan matematika, fisika, kimia, biologi bisa mengajarkan hal-hal teknis yang bisa mendorong mereka untuk berkarya.

Model Guru Pengajar Karakter

Esensi pendidikan adalah mengajarkan karakter. Dari tiga jenis pengetahuan yang saya kemukakan adalah tujuannya mengajarkan agar anak-anak berkarakter. Harus kita sepakati bahwa apa-apa yang kita kerjakan tidak lepas dari pengetahuan yang diolah jadi pikiran dan jadi kelakukan. Ini adalah pengalaman seorang guru di Ciamis Jawa Barat dalam mengajarkan karakter. Menarik sekali apa yang dikatakan guru tersebut, “saya adalah satu-satunya guru yang tidak pernah mengajar”. Setelah saya dalami ternyata apa yang dikatakan “tidak pernah mengajar” adalah kiasan karena selama ini mayoritas guru memiliki pandangan sama tentang mengajar, yaitu menyampaikan materi sesuai dengan mata pelajaran. Materi peajaran secara berurutan harus disampaikan sesuai dengan dokumen kurikulum. Pandangan ini menjebak guru-guru bahwa mengajar sebatas menyampaikan materi pelajaran dan tidak mengandung pengetahuan etika, harapan dan teknik. Akhirnya mata pelajaran hanya berisi pengetahuan prasyarat yang hanya memenuhi otak tidak berfungsi apa-apa dan menjenuhkan.

Pengalaman guru yang tidak pernah mengajar dijelaskan sebagai berikut; ketika saya masuk kelas, ternyata di dalam kelas tidak kondusif dan ada pelanggaran etika, “saya tidak mengajar”. Selama jam pelajaran saya akan membahas bersama anak-anak bagaimana beretika dan berpilaku agar mereka bisa hidup sejahtera di kemudian hari. Saya perkenalkan bagimana cara orang-orang bisa hidup sejahtera dengan cara hidup sesuai etika dalam berbagai aktivitas kehidupan nyata. Kebiasaan mengajar seperti ini, dipersepsi oleh guru-guru lain bukan sebagai kegiatan aktivitas mengajar, karena isinya tidak membahas materi pelajaran.

Mengacu pada tiga teori pengetahuan yang harus diajarkan pada anak-anak, sebenarnya pengalaman guru yang mengajarkan pengetahuan tentang etika hidup sesungguhnya dia telah melaksanakan tugasnya sebagai guru dengan baik. Pengetahuan etika merupakan bagian dari pengajaran karakter yang harus dilakukan semua guru mata pelajaran. Kegiatan yang dilakukan guru di atas adalah salah satu metode yang bisa dilakukan guru dalam mengajarkan pengetahuan etika untuk pembentukan karakter.

Pengajaran kakakter semacam dilakukan dengan pendekatan parsial, sesuai dengan kebutuhan peserta didik saat itu. Jika semua sudah kondusif dan berjalan normal, barulah mengajarkan pengetahuan teknis dalam mata pelajaran. Pengajaran fleksibel ini bisa jadi bagian dari implementasi merdeka belajar, yang memberi kewenangan pada guru untuk mengajarkan apa yang dibutuhkan anak-anak pada saat itu.

Kesimpulannya, mengajar adalah pekerjaan super kreatif dan dinamis. Hal-hal yang statis dalam mengajarkan adalah berkaitan dengan tiga ranah pengetahuan yaitu etika, harapan, dan teknis. Sampai kapan pun manusia membutuhkan manusia-manusia berakhlak baik dengan keyakinan pada Tuhan YME, selalu optimis dalam menjalani hidup, dan memiliki cara untuk mempertahankan hidup dan bermanfaat bagi orang lain. Semoga guru-guru bisa lebih merdeka dalam mengajar dan sealu bisa menyesuaikan materi ajar dengan kebutuhan anak-anak. Wallahu’alam.

Monday, December 13, 2021

PENDIDIKAN BUKAN LOMBA

OLEH: TOTO SUHARYA

(Pendidik, Sekjen DPP AKSI)

Sedih tidak, Jika sekolah lain selalu mendapat juara tetapi sekolah yang kita bina tidak pernah menghasilkan juara. Kecewa tidak jika yang diapresiasi adalah sekolah-sekolah dengan fasilitas lengkap dan siswa yang memang berlatabelakang intelktual cerdas. Sedih atau tidak, kecewa atau tidak, sudah jadi kenyataan bahwa pendidikan di negara kita memang tujuannya untuk lomba. Seorang warga negara Indonesia menikah dan tigggal di Jerman, budaya lomba dalam pendidikan hanya ada di Indonesia dan tidak terjadi di Jerman. Saya jadi berpikir atas pernyataan ini.

Apakah lomba-lomba yang tumbuh seperti jamur dalam dunia pendidikan cocok untuk sistem pendidikan sekarang? Jika kita pahami arah filosofi sekarang, masyarakat dunia itu sudah mulai bosan dengan yang namanya kompetisi yang kadang jadi konflik. Masyarakat dunia saat ini sangat rindu hidup damai dan tentram. Agresi-agresi, perang terbuka, bukan lagi strategi politik negara-negara maju sekarang. Kenapa ini terjadi? Jawabannya karena teknologi informasi telah menyatukan kita menjadi masyarakat satu planet. Tidak ada lagi sekat-sekat batas geografi, pebisnis dari pelosok desa bisa mengirim barang lintas negara dan benua.

Perkembangan teknologi informasi benar-benar telah mengubah mindset masyarakat dunia, “tidak ada satu negara besar yang bisa berdiri sendiri, semua negara hidup saling membutuhkan dan saling ketergantungan. Indonesia ini pasar dunia, sudah barang tentu dibutuhkan Jepang, Korea, Jerman, Amerika dan China.

Negara itu yang mengendalikan manusia, jadi manusia bagaimana yang dibtuhkan sekarang? Jelas sekali bukan manusia yang suka kompetesisi dan konflik. Manusia yang dibutuhkan saat ini adalah manusia ramah, penyayang, penyantun, dan pembawa hidup damai dan sejahtera. Maka negara-negara besar melakukan penetrasi pada negara-negara kecil bukan dengan ancaman tetapi santunan atau bantuan-bantuan dalam berbagai bidang dikemas dalam bentuk kerjasama dan kolaborasi.

Implikasinya, pendidikan di sekolah-sekolah bukan lagi mengedepankan lomba-lomba tetapi karya-karya nyata. Berkarya bukan untuk lomba tetapi melatih kompetensi siswa agar mereka punya keterampilan hidup yang membuat diri mereka sendiri percaya diri dan bangga tanpa harus juara lomba. Juara lomba hanya menghargai segelintir orang dan melahirkan banyak manusia hamba, padahal seharusnya pendidikan dapat melahirkan banyak manusia berharga.

Lomba-lomba jika saat ini mau diadakan bukan untuk menghargai individu tetapi menghargai sebuah lembaga dalam lingkup yang besar, agar penghargaan itu dimaknai dan dirasakan banyak orang. Sebuah lembaga bisa berhasil karena ada kerjasama dan kolaborasi manusia di dalamnya. Namun demikian lomba masih kurang cocok dilaksanakan abad ini. Saat ini perhargaan layaknya diberikan kepada orang-orang yang berprestasi secara alamiah tidak untuk lomba, tetapi mereka memang berprestasi karena panggilan jiwa dan bermanfaat bagi banyak orang. Seperti penghargaan yang diberikan kepada mereka yang telah berjasa untuk kemanusian, karena membebaskan manusia dari kemiskinan, membebaskan alam dari kerusakan, dan sebagainya.

Untuk itu, arah pendidikan saat ini bukan untuk memenangkan lomba, tetapi sebuah upaya membuat semua manusia berdaya saing dengan membangkitkan semangat siswa untuk menjadi manusia-manusia bermanfaat bagi orang banyak, manusia-manusia dermawan yang selalu berpikir untuk menyelesaikan masalah untuk banyak orang banyak bukan untuk juara dan mendapat penghargaan. Sederhananya, tugas pendidikan adalah bagaimana caranya untuk melahirkan manusia-manusia berkarakter dermawan sebanyak-banyaknya. Sekolah harus banyak mengajarkan siswa bagaimana bekerja dalam tim dan saling mampu menghargai sesama manusia bukan karena juara lomba tetapi atas dasar kemanusiaan. Kompetensi-kompetensi yang diajarkan bukan sekedar untuk juara lomba tetapi untuk membekali mereka agar bisa hidup mandiri, menyeesaikan masalah dirinya sendiri dan tergerak untuk menyelesaikan masalah-masalah orang lain. Menghargai juara lomba hanya akan melahirkan sedikit manusia mandiri, dan menghargai sesama manusia akan melahirkan banyak manusia-manusia mandiri dan akan menjadi kekuatan bangsa. Wallahu’alam.

Thursday, December 9, 2021

SEKOLAH TANPA HUKUMAN

 Oleh: TOTO SUHARYA

Ketika sekolah tanpa hukuman bagaimana dengan pelangaran-pelanggaran yang dilakukan peserta didik? Apakah mau kita biarkan atau diserahkan kembali kepada orang tua? Menarik kita diskusikan bagaimana paradigma pengelolaan pendidikan di abad 21 ini yang paradigmanya sudah mengalami perubahan. Sebelum kita bahas tentang sekolah tanpa hukuman, kita lihat dulu mengapa paradigma Sekolah Ramah Anak muncul baru-baru ini? Jika kekerasan anak telah terjadi di sekolah, mengapa konsep sekolah ramah anak muncul abad ini? Apakah dulu tidak terjadi kekerasan terhadap anak?

Sekolah Ramah Anak (SRA) muncul akibat dari kebenciaan masyarakat dunia terhadap kekerasan. Bukan berarti masyarakat dulu tidak benci kekerasan, namun di abad teknologi ini informasi-informasi kekerasan bermunculan seolah-olah menteror rasa damai masyarakat. Melalui media informasi kekerasan begitu cepat menyebar dan memengaruhi pola pikir dan emosi masyarakat. Bisa dibayangkan, jika kekerasan tersebar di media sosial menjadi kolektif memori masyarakat, dunia ini akan dipenuhi dengan emosi negatif dan akan memicu terjadinya kekerasan demi kekerasan.

Fenomena Arab Spring adalah bukti kejadian bahwa kekerasan dapat menyebar menyulut emosi masyarakat lintas negara, hingga menimbulkan krisis politik di negara-negara Timur Tengah.  Untuk itulah, warga masyarakat dunia menganggap pentingnya mengampanyekan prilaku-prilaku ramah dan anti kekerasan, untuk menjaga ketertiban dan perdamaian dunia. Lembaga yang paling efektif untuk mengampanyekan dan mensosialisasikan budaya ramah adalah di sekolah.

Salah satu wujud dari sekolah ramah anak adalah menampilkan model layanan pendidikan tanpa hukuman. Sebenarnya bukan tanpa hukuman, tetapi pendekatan dan gaya pemberian hukuman yang caranya harus diubah. Jika dulu sekolah memberlakukan hukuman seperti hakim menimpakan vonis pada terpidana, sekarang cara itu tidak akan efektif membuat peserta didik jera. Untuk itu dalam konsep sekolah ramah anak hukuman dilakukan dalam bentuk pembimbingan dengan cara memberikan teguran, nasihat, diskusi, memahami penyebab kasus, memberikan arahan tindakan, dan mengkolaborasikan solusi dengan melibatkan orang tua, terapis, psikolog dan lembaga terkait. Penekannya kita kembali kepada filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara, yaitu memberi teladan, memotivasi, dan membimbingnya secara inten dan berkelanjutan.

Hukuman mengalami perubahan bentuk berupa tindakan-tindakan yang dapat membawa inspirasi dan edukasi kepada peserta didik sampai mereka bertemua dengan titik kesadaran. Paradigma ini membawa konsekuensi pada sikap para tenaga pendidik untuk menjadi seseorang yang memiliki kemampuan mengendalikan emosi tidak cepat bosan, pantang menyerah, kreatif, dan berwawasan luas tentang berbagai pendekatan dalam pembelajaran. Jika dulu pendidik harus memiliki kesabaran, paradgima sekarang pendidik harus memiliki kemampuan sabar antara dua sampai tiga kali lipat, bahkan tanpa batas.

Sekolah tanpa hukuman bukan membiarkan penyimpangan terjadi tetapi menjadikan penyimpangan sebagai anugerah ilmu pendidikan yang harus digali bagi para pendidik. Setiap penyimpangan dan kegagalan yang terjadi pada peserta didik bukan kehendak peserta didik, tetapi karena pengaruh lingkungan yang membentuk pola pikir, pola rasa, dan pola laku peserta didik. Seluruh peserta didik terlahir dengan multi telenta. Pada pendidik hanya membantu mereka untuk menemukan talenta-talenta yang mana yang dapat membawa hidup mereka sejahtera di dunia.

Pendidikan tidak akan pernah menunjukkan hasil karena hakikatnya pendidikan adalah proses tiada akhir. Untuk itu kualitas pendidikan bukan dihasil angka, sertifikat penghargaan dan juara dari lomba-lomba. Pendidikan berkualitas bukan terletak pada out put atau out come, tapi dikualitas layanan yang diberikan para peserta didik. Pendidikan yang beroreintasi pada pencapaian hasil hanya akan menghasilkan banyak anak gagal, dan pendidikan yang berorientasi pada kualitas layanan itulah pendidikan yang akan banyak menghasilkan anak-anak sukses. Oleh karena itu, sekolah tanpa hukuman adalah sekolah abad 21 yang berorientasi pada peningkatan proses layanan yang hanya dibatasi oleh waktu dengan akhir semua sukses. Wallahu’alam.

Friday, December 3, 2021

KURIKULUM TIDAK BERUBAH

Oleh: Toto Suharya

Kurikulum tidak berubah, hanya menyesuikan dengan kebutuhan zaman. Zaman ditentukan oleh bagaimana manusia hidup. Perbedaan siginifikan cara hidup manusia di abad 21 dengan manusia sebelumnya adalah pemanfaatan teknologi informasi dalam menyelesaikan masalah kehidupan. Saat ini teknologi informasi digunakan manusia untuk mengembangkan bakat dan minatnya. Kreativitas manusia dalam memanfaatkan teknologi informasi seperti banjir bandang yang melanda tiba-tiba. Banyak orang tidak siap dan kewalahan menghadapinya.

Kurikulum adalah seperangkat aturan yang disengaja diciptakan untuk mengubah otak manusia agar sadar dan hidup dengan kondisi zaman yang ada. Kurikulum berisi kepentingan bangsa untuk mengubah warga negaranya menjadi manusia-manusia produktif dan berdaya saing. Isu perubahan kurikulum hanya cara berkomunikasi agar semua warga negara memperhatikan, mempelajari, dan menyadari bahwa kecenderungan hidup manusia saat ini objeknya telah bergeser. Jadi, kurikulum tidak berubah hanya terjadi pergeseran fokus yang harus dikembangkan dalam aspek pendidikan. Untuk itu fokus pengajaran dalam kurikulum mengalami pergeseran sesuai dengan kebutuhan hidup masyarakat di zaman sekarang.

Dari dulu hingga sekarang, pada dasarnya pendidikan hanya mengurusi otak manusia. Sederhananya otak manusia terjadi menjadi tiga, yaitu otak sadar, otak emosi, dan otak kebiasaan. Pada kurikulum sebelumnya, otak manusia terlalu diatur oleh dokuman kurikulum yang terasa mengikat dan membatasi. Guru-guru adalah otak yang akan mengajari otak, dibuat seperti pegawai birokrat atau pegawai pabrik yang harus mencetak barang dengan bentuk dan kualitas yang sama sesuai sesuai pesanan berstandar nasional atau internasional.

Teknologi informasi yang pemanfaatannya terus dikembangkan dan diimplementasikan dalam berbagai aspek kehidupan, sangat menuntut otak manusia untuk berpikir lebih kreatif. Pada kurikulum lama bukan berarti kreativitas tidak dikembangkan tetapi pada tataran praktek imlementasikan kurang masif dikembangkan oleh para peserta didik. Untuk itu faktor-faktor penghambat kreatifitas seperti rencana pembelajaran yang rigid administratif, penialian yang identik dengan nilai pengetahuan, Ujian Nasional yang berisi soal-soal teori loss kontek, sistem pelaporan keuangan yang syarat administratif dan miskin inovasi, semuanya telah menjadi penghambat dalam mengembangkan kreativitas otak peserta didik.

Beban adminsitratif yang harus dilakukan oleh guru telah membebani, sehingga guru bukan fokus pada inovasi pembelajaran, tetapi fokus pada pengerjaan adminsitratif seperti pegawai administrasi kantor. Isu perubahan kurikulum hanya bahasa komunikasi bahwa kebiasan-kebiasan lama yang penuh adminsitrasi harus mulai bergeser dengan proses pendidikan yang penuh demonstratif. Untuk itu, pemerintah telah menyusun mana-mana saja prilaku pendidikan lama yang tidak sesuai dengan kondisi zaman, dan akhirnya harus diarahkan ke prilaku-prilaku pendidikan lebih yang sesuai dengan kondisi zaman.

Isi kurikulum dari dulu hingga sekarang, semuanya berisi tentang bagaimana melatih dan megembangkan otak manusia. Apa yang harus dilatih, disesuaikan dengan cara-cara hidup yang dibutuhkan manusia dalam menyelesaikan masalahnya. Teknologi adalah alat yang digunakan manusia untuk menyelesaikan masalah. Perkembangan alat-alat hidup yang digunakan manusia, biasanya selalu membawa perubahan terhadap bagaimana cara manusia berpikir dan mepertahankan hidup. Isi pendidikan tidak lepas dari itu biasanya.

Saat ini pemerintah sedang mengkampanyekan tentang pentingnya karakter pelajar Indonesia berbasis pada ideologi negara Pancasila, yaitu membentuk pelajar beriman dan berakhlak, berbudaya global, bergotong royong, mandiri, kreatif, dan kritis (B3MKK) untuk mengantisifasi tiga dosa besar pendidikan yaitu perundungan, pelecehan sosial, dan intoleransi. Pendekatan pembelajaran harus lebih merdeka. Pembelajaran menekankan pada pengembangan kreativitas dan kolaboratif. Untuk merdeka belajar, intervensi pemerintah tidak terlalu mengatur pada ranah teknis guru dalam mengembangkan kreativitas peserta didik. Kasarnya, pemerintah harus mendukung untuk mewujudkan sekolah menjadi tempatnya manusia, bukan tempat narapidana.

Untuk itu kita sambut perubahan, tanpa harus menunggu ada instruksi untuk berubah. Setiap hari, setiap detik, kita tidak pernah berpikir dan bertindak dengan cara yang sama. Apa yang kita lihat, kita dengar, kita baca, kita pikirkan, dan kita lakukan setiap detik tidak akan identik sama. Jadi perubahan adalah hal dinamis dan pasti terjadi dalam hidup kita. Siapa menolak perubahan, dia sedang mengingkari kehidupan. Wallahu’alam. (Penulis Kepala Sekolah dan Sekjen DPP AKSI)

BERPIKIR CEPAT

Oleh: Dr. Toto Suharya, S.Pd., M.Pd. Berat otak manusia sekitar 1,3 kg atau 2% dari berat badan. Otak tidak pernah berhenti bekerja sekalipu...