Saturday, September 3, 2016

AWALNYA PENDIDIKAN

Oleh:
TOTO SUHARYA

Jarang sekali diungkapkan dalam sejarah, bahwa Rasulullah pernah menawarkan para tawanan kaum Quraisy yang pandai tulis-baca dengan menebus dirinya dengan mengajarkan tulis baca kepada 10 orang anak Madinah. Rasulullah ternyata telah memahami begitu pentingnya membaca dan menulis, sebagaimana diperintahkan Tuhan dalam kata wahyu pertama turun, iqra! Untuk itu, saatnya kita kembangkan sekolah berbudaya literasi.

Namun dari hasil penelitian Taufik Ismail, di zaman yang modern ini, 90% siswa Indonesia hanya mengandalkan hidupnya dengan melihat dan mendengar saja. Dalam sejarah masyarakat yang hidup dari melihat dan mendengar tergolong pada masyarakat pra sejarah. Alat semakin modern tapi tanpa kebiasaan membaca maka berarti kita masih primitif.


Pendidikan zaman sekarang tidak jauh lebih bagus dari zaman Belanda. Dalam sebuah pelatihan kurikulum, instruktur menyampaikan data bahwa siswa Algemene Middelbare School (SMA zaman Belanda dulu) Yogya wajib baca 25 buku sastra dalam waktu 3 tahun, tak jauh di bawah SMA Forest Hills (New York), di atas SMA Wanne-Eickel (Jerman Barat) hari ini.

Superioritas AMS Hindia Belanda itu jadi luar biasa karena 25 buku itu dalam 4 bahasa, yaitu Belanda, Inggeris, Jerman dan Perancis. Siswa AMS wajib menulis 1 KARANGAN SEMINGGU. Karangan disetor, diperiksa guru, diberi angka. Panjang karangan 1 halaman. 36 karangan setahun, 108 karangan 3 tahun. Ketika mereka masuk universitas, tugas menulis makalah dan skripsi dilaksanakan dengan merdu dan lancar.

Fakta-fakta mengungkap bahwa kita harus melakukan loncatan dalam hal budaya literasi. Anak Indonesia dibadingkan dengan Kanada, Amerika Serikat dan Australia, dalam satu hari menghabiskan waktu 300 menit per hari untuk nonton. Sementara ketiga negara maju tersebut anak-anaknya rata-rata hanya menghabiskan 100 menit per hari.

Dugaan berdasarkan fakta di atas semakin kuat lagi tatkala Program for International Students Assessment (PISA) 2000, membeberkan hasil risetnya bahwa dari 41 negara di dunia, prestasi literasi anak-anak Indonesia berada pada posisi ke 3 dari belakang. Juga diungkap bahwa skor membaca dari tahun 2000 sampai tahun 2012, dari 65 negara di dunia, kita berada di peringkat ke 2 dari belakang.

Jika kita perhatikan negara-negara yang hidupnya sejahtera di dunia, ternyata memiliki korelasi positif dengan budaya literasi tinggi. Hal ini bisa jadi sebuah kemutlakkan dalam kehidupan dunia bahwa semakin tinggi literasi sebuah bangsa, maka semakin tinggi tingkat kesejahteraannya. Finlandia, Kanada, Selandia Baru, Inggris, dan Jepang adalah negara-negara maju yang menduduki 10 besar sebagai bangsa dengan budaya literasi tinggi.

Dari data-data di atas, sebagai negara dengan mayoritas muslim, kita haruslah paham mengapa Tuhan memerintahkan kita semua untuk membaca. Jawabannya karena Tuhan menginginkan manusia hidup sejahtera di dunia dan akhirat.

Jika dibandingkan dengan kapal karam, badan kapal kita ssetengah badan sudah ada di bawah air. Jika tidak diselamatkan maka sebentar lagi akan tenggelam. Cita-cita Indonesia emas pada 100 tahun Indonesia merdeka tahun 2045, akan sia-sia jika budaya literasi kita tidak digarap serius.

Langkah kementerian pendidikan mengeluarkan permendikbud No. 23 tahun 2015 tentang penumbuhan budi pekerti dan budaya literasi di sekolah, sangatlah tepat. Tinggal sekolah melalui dari kepala sekolah, guru-guru, dan orang tua, mendukung program penumbuhan  budaya literasi ke dalam seluruh aktivitas pendidikan dengan menyediakan sarana dan prasarananya.

Mulai dari gerakan membaca buku pengayaan 15 menit sebelum belajar, membaca koran, resensi 25 buku per tahun, mengakses situs pendidikan di internet, semua media literasi harus dibudayakan. Sekalipun teknologi informasi sudah banyak menyajikan jutaan informasi, tidak berarti media cetak seperti buku dan koran ditinggalkan, biarkan semua hidup sebagai alternatif dalam menumbuhkan budaya literasi. Wallahu ‘alam.

(Kepala SMAN 1 Mande Cianjur)

MENGAPA GURU HARUS TERHORMAT

Oleh: Dr. Toto Suharya, S.Pd., M.Pd. Untuk menghormati guru, di Jepang tidak ada hari guru. Kisah ini dibagikan oleh Pak Susila dari Banten ...