Friday, July 29, 2022

MENGAJARI SISWA SUKSES DENGAN MENYUCIKAN DIRI

Oleh: Toto Suharya

Harta dan ilmu yang melimpah adalah rezeki dari Allah. Rezeki dalam makna luas adalah seluruh kenikmatan dan fasilitas hidup yang kita terima dari Allah. Kenikmatan yang kita terima tiap hari adalah bikmat hidup, tidur, bangun, merasakan makanan lezat, sehat, bernafas, melihat, mendengar, berbicara, dll. 

Fasilitas hidup yang kita nikmati setiap hari adalah sinar matahari, air, udara, tanah yang kita injak, angin, oskigen, virus, bakteri, dll. Seluruh sistem kehidupan yang membuat bisa kita bisa menjalani hidup adalah fasilitas yang yang kita nikmati pemberian Allah sebagai rezeki. 

Rezeki itu datang ketika jiwa kita bersih. Inilah kunci sukses bagi siswa-siswi kita. Program-program pendidikan di sekolah harus mengajarkan bagaimana cara menyucikan diri. Untuk mengerti bagaimana cara menyucikan diri, pendidikan harus bersumber pada konsep-konsep yang dikembangkan dari Al Quran. 

Konsep suci banyak dijelaskan di dalam Al Quran. Selama ini konsep suci yang ditawarkan terlalu abstrak dan jarang dijelaskan secara rinci sampai diketahui ciri-cirinya. Konsep suci dijelaskan dalam Al Quran sebagai berikut:

Ambillah zakat (sedekah) dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (At Taubah, 9:103).

Orang-orang suci adalah mereka yang mengeluarkan zakat dan infak dari hartanya. Jika karakter seseorang sudah memiliki kebiasaan zakat atau infak setiap hari, maka tanda-tanda kesucian jiwa sudah dimiliki. Orang-orang yang jiwanya suci akan selalu diliputi oleh rezeki dalam berbagai bentuk.

Jadi menyucikan jiwa bukan hanya kata-kata abstrak yang sulit dicerna akal, menyucikan jiwa dan kesucian jiwa dimiliki oleh manusia-manusia yang konsisten zakat atau infak serta pikiran dan hatinya  selalu berprasangka baik pada Allah. Membangun karakter berani berkorban, berjiwa sosial, peduli lingkungan dan sesama, berbakti pada orang tua, mencintai fakir miskin, anak terlantar dan anak yatim adalah pendidikan untuk menyucikan jiwa para siswa. 

"Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikit pun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang-orang yang takut kepada adzab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihat-Nya dan mereka mendirikan shalat. Dan barang siapa yang menyucikan dirinya, sesungguhnya ia menyucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan kepada Allah-lah kembali (mu)" (Fathir, 35:18).

Pendidikan selanjutnya yang mengajari siswa menyucikan jiwa adalah menghadirkan rasa takut pada Allah sekalipun tidak melihatnya, dengan mendirikan shalat. Jadi ada dua substansi pendidikan yang harus diajarkan kepada seluruh siswa dengan berbagai macam pendekatan yaitu membiasakan shalat dan sedekah. 

(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka, (Al Baqarah, 2:3).

Inilah pendidikan dasar disetiap tingkatan yang akan membawa kesuksesan pada siswa lahir dan batin. Pendidikan yang menyucikan jiwa siswa, dan akan mendatangkan rezeki dari Allah dari arah tidak disangka-sangka. Wallahu'alam.***



Subtansi Pengajaran Menurut Al Quran

Oleh: Toto Suharya

Diskusi bersama guru-guru dan pengawas pendidikan terkait materi ajar apa yang harus diajarkan, muncul suatu kesepakatan bersama bahwa ilmu pengetahuan yang diajarkan harus bermanfaat bagi siswa. Ilmu pengetahuan yang diajarkan pada siswa harus memiliki kebermanfaatan langsung untuk siswa. Jadi tidak semua ilmu pengetahuan diajarkan pada siswa. Inilah poin penting yang harus dipahami dari implementasi kurikulum Merdeka Belajar.

Di dalam Al Quran ada dua substansi pengajaran yang harus diperhatikan, yaitu menyucikan diri dan bermanfaat bagi siswa. "Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?" ('Abasa, 80:3-4). 

Jadi substansi pengajaran memiliki dua dimensi yaitu menyucikan diri siswa dan memberi kemampuan teknis bagaimana hidup bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Konsep menyucikan diri kata kuncinya dijelaskan di dalam Al Quran yaitu mengajari jiwa-jiwa siswa yang takut pada Allah. 

Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang ia takut kepada (Allah), ('Abasa, 80:8-9).

Substansi materi ajar adalah mengingatkan siswa tentang keagungan dan kemahabesaran Allah dengan melihat ciptaan-Nya, dan mengingatkan siswa tentang hukum-hukum yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari. Guru-guru mata dituntut kreatif bagaimana setiap mata pelajaran mengarahkan pada ketaatan dan menghadirkan rasa takut siswa pada Allah. Inilah jiwa-jiwa yang taat, berserah diri, dan merasa takut melanggar pada ketentuan-ketentuan yang telah Allah tetapkan.

Guru harus punya kemampuan menganalisis materi-materi ajar esensial. Ukuran materi ajar esensial sangat tergantung pada mata pelajaran yang diampu, dan dalam kontek apa materi tersebut perlu diajarkan pada siswa. Seleksi materi ajar esensial berkaitan dengan subtansi materi dalam mata pelajaran. Sedangkan subtansi kontekstual berkaitan dengan kebutuhan berdasarkan pada kondisi zaman yang sedang dihadapi siswa.

Kontekstualitas zaman dapat diamati dari alat-alat hidup atau teknologi yang digunakan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Jika saat ini masyarakat cenderung memanfaatkan teknologi informasi sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, maka kontek pembelajaran harus segera memperkenalkan bagaimana teknologi informasi dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup. 

Maka materi-materi ajar yang mesti diajarkan kepada siswa, materi yang mendukung pada siswa untuk memanfaatkan teknologi infomasi dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Berbagai substansi mata pelajaran harus mendukung pada pemahaman siswa bagaimana mengembangkan dan memanfaatkan teknologi informasi dalam kehidupan sehari-hari.

Agama mengajarkan bagaimana mengembangkan dan memanfaatkan teknologi informasi. Sejarah memberi pemahaman bahwa teknologi membawa konsekuensi perubahan budaya dan tata cara manusia bertahan hidup dengan memanfaatkan teknologi informasi. Fisika, Kimia, Biologi, mengajarkan bagaimana teknologi informasi dimanfaatkan untuk mengembangkan ilmu dan memanfaatkannya dalam kehdiupan sehari-hari. 

Demikianlah gambaran dua substansi ilmu pengetahuan dalam proses pengajaran. Ramuan materi, metode yang digunakan sangat tergantung pada kecerdasan dan kreativitas guru dalam menyajikannya. Wallahu'alam.***

Saturday, July 2, 2022

Refleksi Guru Dalam Pengajaran

Oleh: Toto Suharya

Menjelang 77 tahun Indonesia merdeka, mendekati satu abad bangsa Indonesia merdeka. Upaya-upaya dalam bidang pendidikan sudah dilakukan dan terus menerus diakukan perubahan. Dalam tarikh masehi sekarang kita sekarang berada di awal abad ke-21. Dalam perjalanan sejarah biasanya pada awal abad sering terjadi perubahan besar-besaran menimbulkan situasi krisis. Sebagaimana dulu pada awal abad ke-20 bangsa Indonesia terus bergerak membebaskan diri dari kolonial Belanda. Puncaknya pada pertengah abad ke-20 tahun 1945 bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan. 

Keberhasilan bangsa Indonesia merdeka tidak lepada dari upaya-upaya pembenahan dalam bidang pendidikan telah dilakukan sejak tahun 1922 oleh Ki Hadjar Dewantara dengan berdirinya perguraun Taman Siswa. Sekarang kita berada di awal abad ke-21 sejarah seperti berulang, bahwa upaya pendidikan yang dilakukan oleh Ki Hadjar Dewantara sedang dimulai kembali.

Pendididikan untuk bangsa Indonesia memang harus dikerjakan sesuai dengan karakter bangsa Indonesia. Orang yang paling mengerti tentang pendidikan bangsa Indonesia adalah bangsa Indonesia sendiri. Melalui konsep Trikon (kontinyu, konevergen, dan konsentris), Ki Hadjar Dewantara sudah membuka diri menerima pengaruh-pengaruh budaya dari luar, tetapi tidak melupakan budaya bangsa Indonesia sendiri. Konsep ini ternyata lebih tepat untuk diterapkan dalam pendidikan bangsa Indonesia.

Pendidikan harus berkelanjutan, budaya-budaya dari luar digunakan untuk mengukuhkan jati diri bangsa. Melalui asas konvergen, kita berusaha merekonstruksi budaya luar untuk mengembangkan budaya bangsa sendiri (konsentris). Pendidikan harus fokus pada pengembangan budaya-budaya lokal direkonstruksi menjadi budaya global sesuai dengan perkembangan zaman. Gagasan Ki Hadjar Dewantara sebenarnya menuntut bangsa Indonesia untuk bisa beradaftasi dengan kodrat zaman dengan tidak meninggalkan kodrat alam dimana kita tinggal.

Gagasan Ki Hadjar Dewantara ternyata lebih cocok untuk diterapkan dalam sistem pendidikan bangsa Indonesia. Upaya yang dilakukan Ki Hadjar Dewantara sejak tahun 1922 adalah bagaimana memerdekan siswa dari ketergantungan. Bagaimana cara memerdekakan siswa dalam belajar untuk mencapai kebahagiaan hidup yang setinggi-tingginya. Pendidikan berfokus pada siswa bagaimana agar mereka benar-benar merdeka. 

Penjajahan ternyata tidak hanya berlaku dalam bentuk fisik, tetapi terus berlanjut berubah bentuk dalam pejajahan mental dikemas dalam bidang sains, teknologi, dan ekonomi. Peran besar pendidikan di abad 21 masih berbicara tentang kemerdekaan dalam belajar untuk melahirkan generasi-generasi mandiri dan bisa menyelesaikan masalah hidup dirinya dan bangsa pada umumnya.

Mengacu pada gagasan pendidikan dari Ki Hadjar Dewantara, peran besar pada pendidikan di abad 21 sekarang adalah memerdekanan siswa dalam belajar. Pendekatan-pendekatan belajar yang harus dilakukan guru adalah melatih daya nalar siswa. Dalam setiap pembelajaran mereka harus dituntun bagaimana mengolah informasi untuk memecahkan berbagai permasalahan yang mereka hadapi.

Paradigma pengajaran zaman kolonial Belanda yang pada saat itu sumber informasi sangat terbatas, guru menjadi sumber informasi paling dominan. Pada zaman kolonial Belanda, belajar menjadi sebuah aktivitas yang sangat dominan membutuhkan kehadiran guru sebagai sumber informasi dan penentu tujuan pembelajaran. Sekarang di abad informasi, kehadiran guru dibutuhkan tetapi bukan sebagai sumber informasi, tetapi sebagai penuntun pembelajaran. Sebagaimana filosofi Ki Hadjar Dewantara, tugas guru adalah memberi teladan, memberi semangat, membangkitkan keberanian, dan memberi dorongan, memengaruhi agar siswa mau terus belanjar secara mandiri.

Ketergantungan siswa ada guru telah mematikan kreativitas, daya nalar kritis, sikap gotong royong, menghargai perbedaan, dan kemandirian. Dominasi guru pada siswa dalam belajar, membuat siswa tidak pandai mengolah informasi, akibatnya mereka sangat mudah putus asa, dan tidak terampil menerima perbedaan pendapat karena fanatisme pada gurunya. Guru telah menjadi berhala, karena siswa tidak punya keberanian berbeda dengan gurunya. 

Dari pengataman di lapangan, setelah siswa lulus dari pendidikan, kebanyakan siswa masih sangat tergantung pada guru. Sumber informasi yang melimpah di internet, tidak menjadi motivasi siswa untuk berani belajar mandiri. Mereka masih tetap mengharapkan kehadiran guru secara fisik. Padahal di era informasi, guru-guru yang bermakna luas tidak harus hadir secara fisik. Melalui internet mereka bisa belajar sesuai keinginan mereka sekalipun tidak berstatus sebagai pelajar. Mereka bisa belajar untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan memilih banyak guru sesuai dengan kebutuhan. 

Dalam konsep pemikiran Ki Hadjar Dewantara, makna guru dan sisjadi luas. Semua makhluk adalah guru, dan semua makhluk adalah murid dan dimanpun ruang kita temua itulah kelas tempat belajar. Guru dalam konsep abadi 21 bukan hanya mereka yang mendapat surat tugas sebagai guru, tetapi semua orang yang kita temui yang bisa memebrikan iformasi ilmu pengetahuan dia adalah guru. Tugas guru-guru yang mendapat surat tugas adalah membebaskan pikiran-pikiran siswa yang masih terbelenggu oleh konsep guru dalam paradigma zaman kolonial Belanda.

Guru harus mulai menurunkan kedudukannya, bukan lagi sebagai dewa dihadapan siswa. Guru adalah manusia biasa yang hanya bertugas memberi teladan, memotivasi, dan memfasilitasi, bukan untuk menguasai pikiran para siswa supaya tunduk dan patuh pada pemikiran guru. Mari bapak ibu guru kita sama-sama bebaskan pikiran siswa dari belenggu pemikiran-pemikiran guru, karena zaman berubah maka biarkan mereka hidup sesuai dengan zamannya. Mari kita ajari siswa-siswi kita menjadi manusia-manusia mandiri, dengan melatih mereka untuk menyesaikan masalah-masalah hidup mereka sendiri agar bisa meraih kebahagiaan tanpa tergantung pada orang lain.***

 

BERPIKIR CEPAT

Oleh: Dr. Toto Suharya, S.Pd., M.Pd. Berat otak manusia sekitar 1,3 kg atau 2% dari berat badan. Otak tidak pernah berhenti bekerja sekalipu...