Oleh: Dr. Toto Suharya, S.Pd., M.Pd.
Ide sedekah atau berbuat baik dapat menyehatkan telah dijelaskan di dalam Al Quran. Masalahnya ada yang memahami Al Quran dengan mistik dan ada yang memahami dengan fakta empiris. Di Indonesia sebagian besar memahami dampak sedekah dengan mistik.
Di Indonesia pola pikir mistik terlalu dominan menjadi pola pikir masyarakat dalam memahami agama. Maka terbentuklah budaya membaca teks bahasa Arab Al Quran tanpa memahami maknanya dengan keyakinan Allah akan membalas dengan pahala berlipat ganda.
Dengan keyakinan, budaya membaca teks Arab Al Quran 30 Juz, di Indonesia menjadi ritual tahunan terutama di bulan Ramadan. Pola ini telah menjadi tradisi puluhan mungkin ratusan tahun di Indonesia.
Di era teknologi pemahaman masyarakat tentang agama Islam dan Al Quran mulai berubah. Media teknologi informasi menyajikan informasi bervariasi tentang agama Islam dan Al Quran. Akibatnya masyarakat mulai mengkritisi tradisi-tradisi dalam ajaran agama yang kurang mendalam pemahannya.
Pola pikir mistik dan ilmiah sebenarnya saling melengkapi. Pola pikir mistik bersifat acak mengajak melatih manusia berpikir kreatif dan dinamis. Pola pikir ilmiah melatih manusia berpikir kronologis dan spesifik. Al Quran memiliki makna keterkaitan, artinya membuka peluang luas terhadap penafsiran.
Sedekah jika dipahami secara mistik dijelaskan dalam Al Quran jika dilakukan akan mendapat balasan dari Allah berlipat ganda hingga 700 kali lipat (lihat: Al Baqarah, 2:261). Jika orang berpedoman pada ayat ini orang tinggal yakin pada Allah dengan melakukannya, dan hasilnya banyak orang merasakan manfaatnya.
Bagi orang berpikir, balasan 700 kali lipat tidak dipahami secara mistik, tapi berusaha memahami bahwa sedekah jika dilakukan memiliki banyak manfaat untuk kehidupan. Untuk ada upaya untuk memahami dampak sedekah ke dalam berbagai aspek kehidupan salah satunya pada kesehatan.
Untuk itu berkembanglah berbagai penelitian ilmiah tentang manfaat sedekah dalam berbagai konteks prilaku. Sebuah studi kohort terhadap kelompok relawan menunjukkan bahwa para relawan memiliki risiko mortalitas (kematian) lebih rendah. Studi menunjukkan bahwa kesukarelawan memiliki efek positif terhadap depresi, kepuasan hidup dan kesejahteraan (Jenkinson, at al. 2013).
Para peneliti melaporkan dari 2.605 orang Amerika berusia 62 tahun ke atas. Mereka memeriksa seberapa sering peserta menjadi sukarelawan. Hasilnya menunjukkan orang yang menjadi sukarelawan satu hingga empat jam per minggu mengalami penuaan biologis lebih lambat dibandingkan dengan mereka yang tidak menjadi sukarelawan sama sekali. (health.com).
Penelitian menyimpulkan bahwa sedekah meningkatkan kebahagiaan dan emosi positif. Efek ini telah ditunjukkan dalam berbagai perilaku sedekah, termasuk menjadi sukarelawan (Huang, 2018), mendonorkan darah (Buyx, 2009), memberi untuk amal (Liu dan Aaker, 2008), membelanjakan uang untuk orang lain (Dunn dkk., 2008), dan melakukan tindakan kecil, seperti menawarkan kopi, bersikap baik, atau membuat seseorang tersenyum (Rudd dkk., 2014). Aknin dkk. (2013a) menemukan hubungan di 120 dari 136 negara dan menyimpulkan bahwa hubungan ini tidak bergantung pada kekayaan suatu negara (frontiers.org).
Sedekah adalah ajaran universal yang tertulis di dalam kitab suci Al Quran. Menjadi ahli sedekah dengan berbagai prilaku bermanfaat bagi orang lain, dapat menjadi karakter dasar yang dapat menciptakan kesejahteraan umat manusia dan alam di muka bumi. Sedekah dapat menghasilkan hormon oksitosin (cinta), dopamin (motivasi), serotonin (ketenangan, rasa syukur), dan endorfin (bahagia) di otak. ***