Wednesday, June 26, 2019

PROGRAM CLONING CLEANING TRAINING SERVICE (CCTV)


OLEH: TOTO SUHARYA

“Jika ingin tahu letak wc sekolah, tarik nafas cium baunya dari arah mana, maka kita akan menemukan dimana letaknya”. Itulah candaan orang-orang pendidikan yang sudah tahu bahwa wc wc di sekolah selalu bau pesing dan kotor.

Kondisi ini hampir terjadi di setiap sekolah. Padahal sekolah adalah lingkungan yang harus mendidik anak-anak untuk hidup bersih. Kendalanya adalah tenaga kebersihan yang ditugaskan di skeolah tidak maksimal melaksanakan tugas. Selain itu kontrol dan manajemen pemeliharaan lingkungan sekolah kurang disiplin dan sering terabaikan. Padahal citra sekolah bisa dilihat di wc.

Menjaga wc tetap bersih ternyata butuh sumber daya terlatih dan punya tata kerja disiplin. Memelihara wc tetap bersih butuh tenaga-tenaga professional terlatih, karena memelihara wc jika di dalami ternyata butuh ketermpilan, dilengkapi alat-alat, dan cairan-cairan khusus permbersih wc.

Tenaga kebersihan di sekolah rata-rata tidak memiliki keterampilan dan pengetahuan cukup tentang cara membersihkan dan memelihara wc agar tetap bersih. Selama ini pihak sekolah merengkrut tenaga kebersihan tanpa pernah ada pelatihan dan pembinaan bagaimana tata cara memelihara dan membersihkan wc.

Petugas kebersihan sekolah biasanya memiliki jam kerja tidak teratur. Setelah melaksanakan tugas di pagi hari, petugas kebersihan tidak pernah punya pekerjaan lain, dan kinerjanya tidak terkontrol. Membersihkan wc wc guru, dan siswa, tidak pernah teratur dan jika dikerjakan kualitasnya tidak maksimal. Hingga sering kita temukan wc-wc guru dan siswa, kotorannya mengerak dan sulit dibersihkan sekalipun sudah menggunakan cairan pembersih wc. Kondisi ini menjadi kurang mendidik dan tidak layak menjadi wc di lingkungan pendidikan.

Program CCTV terinspirasi dari seorang alumni yang dulu pernah bekerja menjadi cleaning service. Dia datang ke sekolah bukan sebagai cleaning service tetapi sudah menjadi pengusaha jasa cleaning service. Beliau bercerita bahwa dulu karena sulit cari kerja dia bekerja di perusahaan jasa cleaning service terbesar di Bandung yang pemilik orang Denmark. Di Bandung hanya ada 46 perusahaan jasa cleaning service yang sudah memiliki izin, termasuk perusahaan yang dia didirikan sekarang. Beliau datang ke sekolah ingin membantu dan berbagi ilmu bagaimana menjaga kebersihan wc sekolah seperti wc-wc di hotel bintang.

Program CCTV dilakukan dengan memasukkan petugas cleaning service profesional menjadi petugas kebersihan sekolah dengan kontrak satu tahun. Petugas kebersihan dari jasa cleaning service dipekerjakan dua orang, sambil bekerja mereka bertugas melakukan training tenaga kebersihan sekolah untuk mengikuti pola kerja standar dari pekerja cleaning service. Petugas kebersihan sekolah ditugaskan mengiuti seluruh aktivitas yang dilakukan oleh petugas kebersihan profesional.

Kontrol jam kerja, tata cara kerja, petugas kebersihan sekolah diserahkan kepada manajer jasa cleaning service. Petugas kebersihan sekolah sesuai dengan MOU, ditugaskan untuk mengikuti dan diatur oleh manajemen jasa cleaning service. Selama MOU, disiplin kerja, tata cara  kerja, dan penilaian kinerja dilakukan standar oleh pengelola jasa layanan cleaning service.

Program CCTV dilakukan dengan mempertimbangkan keuangan sekolah yang tidak mungkin untuk membayar tenaga professional jasa cleaning service dalam jumlah sesuai kebutuhan. Sistem cloning dilakukan dengan merekrut tenaga professional dengan gaji dan jam kerja standar 8 jam full perhari. Tenaga kebersihan sekolah karena gajinya belum standar, hanya mengikuti 6 jam kerja per hari. Namun pada saat bekerja selama 6 jam mereka harus mengikuti tata cara kerja pekerja jasa cleaning service professional. Selama bekerja itulah mereka seolah-olah melakukan training menjadi pekerja cleaning service.

Diharapkan melalui program CCTV para pekerja kebersihan sekolah memiliki wawasan pengetahuan bagaimana menjadi pekerja professional dalam bidang kebersihan. Selama satu tahun percobaan mereka akan bekerja bersama cleaning service professional. Melalui program CCTV diharapkan seluruh warga sekolah bisa melihat kualitas wc yang selalu bersih, dan menjadi budaya standar hidup bersih yang tinggi terutama bagi anak-anak didik.

Alhasil, setelah lulus sekolah anak-anak punya daya cipta untuk mewujudkan wc-wc bersih dengan standari tinggi di rumah-rumah mereka dan tempat umum. Diharapkan juga mindset dan kepedulian mereka terhadap wc dan lingkungan bersih menjadi karakter.

Tidak sadar selama ini dengan kualitas kebersihan wc sekolah yang buruk, bertahun-tahun kita sedang mewariskan keburukan kepada anak-anak. Sehingga setelah lulus sekolah kualitas hidup mereka tidak berubah. Program CCTV adalah inovasi program yang mungkin dilakukan dan patut dicoba oleh setiap sekolah. Wallahu ‘alam.

(Penulis Head Master Trainer)

Saturday, June 8, 2019

EMPAT FILOSOFI GURU

OLEH: TOTO SUHARYA

Tidak ada pekerjaan yang dibebani tugas berat selain guru. Di pundak para guru, nasib bangsa ke depan ditentukan. Di Spanyol, masyarakat bisa protes keras jika guru tidak melaksanakan tugas dengan profesional. Sekolah bisa didakwa secara pidana oleh orang tua jika anak-anaknya tidak bisa mendapatkan ilmu yang dijanjikan.

Guru memiliki tugas-tugas kenabian. Menanggung beban derita dan sangat peduli pada masa depan umat manusia. Menyelamatkan satu anak sama dengan menyelamatkan umat manusia, dan menelantarkan satu anak tanpa pendidikan sama dengan menelantarkan seluruh manusia. Filosofi guru seperti para nabi yang diutus Nya.

Pertama; Tugas guru hanya menyampaikan kebenaran. “Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas". (Yasin, 36:17). Setiap hari melalui berbagai macam cara guru menyampaikan kebenaran. Cara pengajaran terbaik yang dimiliki guru adalah keteladanan. Dosa besar guru manakala tidak menyampaikan kebenaran, tidak memberikan keteladanan kepada anak-anak dalam berakhlak mulia, dari mulai parkir kendaraan, cara membuang sampah, sampai memuliakan orang tuanya.

"Guru tidak mengklaim keberhasilan murid-murid sebagai jasa-jasanya". (Muhammad Plato)
Kedua; Lemah lembut dan pemaaf adalah akhlak sehari-hari guru. Kesalahan tidak ditimpakan pada murid-muridnya tetapi dialamatkan kepada dirinya yang tidak sempurna dalam menjalankan tugas. Marah adalah perbuatan haram bagi guru, sekalipun dalam kebenaran marah tidak dibenarkan dalam dunia guru, karena di dalam marah ada kesombongan tersembunyi, yaitu merasa diri pemilik kebenaran, sedangkan kebenaran mutlak milik Allah.
   
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (Ali Imran, 3:159).

Ketiga; Guru tidak mengklaim keberhasilan murid-murid sebagai jasa-jasanya. Bukan hak guru menghakimi murid-murid cerdas atau bodoh. Bukan guru yang menjadikan anak soleh atau durhaka. Murid-murid pada dasarnya makhluk cerdas, dan kebodohan, kedurhakaan karena prilakunya sendiri. “Sesungguhnya kewajiban Kami-lah memberi petunjuk,” (Al lail, 92:12). Guru tidak menjadi Tuhan bagi murid-muridnya, tugas guru seperti para nabi hanya menyampaikan kebenaran dengan lemah lembut, pemaaf, dan dengan contoh teladan.

Keempat; Keteladan paling dasar untuk diajarkan adalah kemampuan hidup dijalan benar dalam kesabaran. Berdasar hadis, “kemampuan hidup sabar adalah penguasaan 50% ajaran kehidupan”. Bagi guru, kesabaran adalah perbuatan tanpa batas, karena kesabaran pilihan hidup untuk tetap bersekutu dengan Tuhan dan selalu menjannjikan keberuntungan besar.

“Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (Al Baqarah, 2:153). “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung”. (ali Imran, 3:200).

(Penulis Head Master Teacher)

Friday, June 7, 2019

KEWIRAUSAHAAN MENURUT AL-QURAN

OLEH: TOTO SUHARYA


Dulu kewirausahaan identik dengan pedagang. Islam di Indonesia disebarkan melalui para pedagang dari Gujarat. Islam di Indonesia menyebar melalui pesisir pantai, dan kita temukan di setiap pesisir pantai akan ada pasar dan masjid. Pada masa awal, kewirausahaan adalah industri milik keluarga, pada masa revolusi industri kewirausahaan menjadi pegawai perusahaan, kemudian pada masa revolusi industri 4.0 kewirausahaan berubah menjadi kepemilikan kapital dan teknologi digital. Kewirausahaan kembali menjadi milik setiap anggota keluarga. Inilah fenomena di masyarakat abad ke-21.

SESUNGGUHNYA MANUSIA DCICIPTAKAN PUNYA KEMAMPUAN BETAHAN HIDUP DALAM KESULITAN. (MUHAMMAD PLATO)
Semua orang adalah pewirausaha, pendapat ini dikatakan oleh Muhammad Yunus seorang pewirausaha sosial dari Bangladesh, mendapat nobel perdamaian tahun 2016, dikutif Rhenald Kasali (26 Desemeber 2017). Konsep ini menjadi layak sebagai kompetensi dalam kurikulum pendidikan. Untuk itu di abad ke-21 semua kurikulum harus mengacu pada pengembangan jiwa kewirausahaan dalam berbagai aspek kehidupan.

Kewirausahaan berkaitan erat dengan adversity quotient yang dikembangkan Stolzt. Dari berbagai studi literatur buku-buku autobiorafi para pewirausaha dan tokoh-tokoh politik dunia, adversity adalah kompetensi dasar yang dimiliki oleh mereka. Para pewirausaha adalah manusia climbers seperti dikemukakan oleh Stolzt (2005, hlm. 19) yaitu manusia yang mengabdikan diri seumur hidupnya pada pendakian.

Konsep jalan sulit dan mendaki kita temukan di dalam Al-Qur’an. Bahkan Al-Qur’an memberikan penjelasan rinci tentang apa itu jalan mendaki yang harus ditempuh oleh manusia. “ Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu (‘aqabah)? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan (raqabah), atau memberi makan pada hari kelaparan (masgobah) (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir”. (Al Balad, 12-16).

Para pengambil jalan mendaki dikabarkan oleh Tuhan sebagai orang-orang berjiwa wirausaha yaitu yang tidak takut dengan kesulitan dan mengabdikan diri untuk membantu manusia terbebas dari ketidakadilan dan berusaha memenuhi kebutuhan fisiologis manusia terutama mereka yang sedang dilanda kesulitan.

Para pewirausaha dalam bidang pendidikan, ekonomi, sosial, dan politik, guru, dosen, pengusaha, relawan, pejabat, pegawai, pada dasarnya mereka mengabdikan diri untuk membantu dan membebaskan manusia dari ketidakadilan dan kemiskinan. Penjajahan dalam berbagai bentuk adalah salah satu bentuk ketidakadilan yang mengakibatkan kemiskinan.

Maka atas jasa-jasa tokoh para pewirausahalah, setiap suku, bangsa, dan dunia bisa diselamatkan dari ketidakdilan dan kemiskinan. Kehadiran para pewirausaha dalam berbagai bidang harus diregenerasi melalui upaya pendidikan secara terencana, dan terstruktur dalam setiap kurikulum pembelajaran. Wallahu ‘alam.

(Penulis Head Master Trainer)

Tuesday, June 4, 2019

GURU BERBASIS ZONASI


OLEH: TOTO SUHARYA

“Jika masalah guru tertangani dengan baik, sekitar 70 persen urusan pendidikan di Indonesia selesai”. (kompas, 28/11/2018). Menyimak pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini, 1000 persen saya setuju sekalipun pernyataannya hanya sebatas nalar sehat seorang menteri. Masalah mendasar dalam dunia pendidikan kita adalah kualitas guru. Perhatian pemerintah terhadap guru tidak boleh mengalami pasang surut. Peradaban boleh berubah, teknologi boleh berubah, tetapi guru kedudukannya tidak akan tergantikan.

ARTIKEL TELAH DIMUAT DI FORUM GURU PIKIRAN RAKYAT
Negara-negara kaya yang banyak membelanjakan dananya untuk pendidikan dapat memberikan layanan pendidikan yang lebih berkualitas dibanding negara-negara miskin yang membelanjakan dananya lebih sedikit untuk pendidikan. Sebagai contoh di negara-negara yang mengalokasikan dana pendidikan lebih besar, satu guru melayani 20 orang siswa, sedangkan di negara-negara yang kecil alokasi dana pendidikannya satu orang guru melayani 30 orang siswa. (Orstein & Levine, 2018).

Lebih lanjut dijelaskan, keberhasilan pendidikan di negara maju, ternyata tidak lepas dari peran guru berkualitas. Sekalipun pengajaran lebih banyak ceramah dan siswa menyimak duduk di kursi, pada sekolah dasar di Selandia Baru, mereka telah menerapkan sistem pengajaran yang menekankan pada keterampilan membaca. Anak-anak belajar menemukan kontek saat mereka membaca, dari naskah yang menggunakan bahasa sehari-hari. Pembelajaran ini telah berhasil meningkatkan kecerdasan anak-anak sampai jenjang perguruan tinggi. Pembelajaran menekankan pada keterampilan berpikir, didukung oleh guru-guru berkualitas tinggi, dan sarana prasarana kelas, dan pembaruan alat laboratorium.

Kesimpulan dari penelitian PISA, TIMMS, PIRLS, menyimpulkan bahwa nilai nasional pada mata pelajaran seperti membaca, matematika, dan sains cenderung sangat berkorelasi. Tujuh dari negara dengan skor membaca tertinggi dalam data yang dikumpulkan oleh PISA, juga berada di delapan negara tertinggi yang memperoleh skor tertinggi dalam matematika dan sains. Penelitian ini mengkerucutkan arti kualitas seorang guru harus diukur dari budaya literasi. Di Amerika Serikat, budaya literasi yang dimiliki seorang calon guru, menjadi syarat kelulusan dalam seleksi calon guru. Kemampuan baca rendah anak-anak didik, tidak lepas dari campur tangan para guru.

Berkaitan dengan rencana peningkatan mutu guru berbasis zonasi, penulis tidak menemukan hal esensial dalam kebijakan baru ini. Pokok dasar masalah guru, bukan pada metode pembenahannya yang harus dikedepankan oleh pemerintah, tetapi masalah pemetaan dan distribusi guru. Jumlah 3,1 juta orang guru PNS secara nasional, telah memenuhi kuota kebutuhan guru, tetapi jika dilihat fakta dilapangan masih ada sekolah tanpa guru PNS.

Permasalahan mendasar lainnya adalah masalah konten dan konsitensi dalam model penigkatan mutu guru. Program sertifikasi dengan tunjangan sertifikasi banyak dikritisi tidak menghasilkan apa-apa untuk guru, bukan berarti program sertifikasi guru gagal meningkatkan kualitas guru, tetapi ada subtansi program yang harus dievaluasi. Amerika Serikat yang sudah lebih dulu melakukan program sertifikasi sampai sekarang masih menghadapi kendala dalam hal kualitas guru.

Upaya yang dilakukan mereka adalah melakukan seleksi ketat dalam rekruitmen guru, dan meningkatkan peran serta organisasi profesi guru dalam mengawal kualitas guru. Selain itu, pemerintah Amerika terus membenahi lembaga-lembaga pendidikan yang mendidik para calon guru, dengan melakukan akreditasi ketat pada lembaga tersebut. Dari sisi keilmuan, profesi guru yang masih dianggap semi profesi, secara keilmuan harus terus ditingkatkan melibatkan lembaga pendidikan tinggi keguruan (LPTK) terakreditasi sangat baik, agar keilmuannya sama dengan dokter dan pengacara. Dengan demikian tidak bisa sembarangan orang dengan berbagai macam latar belakang pendidikan bisa menjadi guru. Awal karier seorang guru, harus diawali dari panggilan jiwa dan punya kepribadian seorang guru.

Kegagalan pemerintah dalam menata kebutuhan guru, terlihat pada rekruitmen calon guru  yang latar belakang pendidikannya tidak tersedia dilapangan seperti guru kewirausahaan. Alhasil pada kuota guru kewirausahaan tidak ada satu pun calon guru yang mendaftar karena tidak ada lembaga pendidikan tinggi yang menyediakan sarjana kewirausahan. Untuk itu, pemerintah harus betul-betul serius mengelola kebutuhan guru, dengan menggali data dari lapangan dan melibatkan akdemisi, praktisi, dan organisasi profesi guru ketika akan mengeksekusi sebuah kebijakan dalam penataan dan peningkatan kualitas guru.

Berdasarkan survey di tingkat internasional, masyarakat Indonesia masih memiliki penghormatan tinggi kepada guru. Penghormatan masyarakat kepada guru, harus segera diimbangi dengan program-program peningkatan mutu guru melalui evaluasi substansi program sertifikasi yang sudah ada secara berkelanjutan. Wallahu ‘alam.

(Penulis Kepala SMAN 1 Cipeundeuy, Pengurus PGRI Kab. Cianjur)
   

KEKHAWATIRAN DAN HARAPAN PPDB


OLEH: TOTO SUHARYA

Berbicang-bincang dengan kepala sekolah senior disela-sela pelantikan Asosiasi Kepala Sekolah Indonesia (AKSI) DPC kota Bandung, saya menangkap kekhawatiran para senior. Kekhawatiran itu, dikemukan bahwa PPDB zonasi dengan prioritas domisili berdasarkan kartu keluarga, telah ditafsir oleh segelintir orang untuk meruntuhkan kejayaan sekolah-sekolah favorit.

Para senior mengkhawatrikan sistem peneriman peserta didik baru berdasarkan pada domisili, sekolah-sekolah favorit yang ada di tengah kota terancam tidak akan dapat siswa, atau kualitasnya menurun karena akan dimasuki siswa dari berbagai macam latar belakang siswa. Kekhawatiran ini menjadi harapan akan ada kebijakan khusus terhadap sekolah-sekolah favorit agar tetap favorit.

Dari sudut pandang lain, bagi sekolah di desa dan swasta, kebijakan PPDB zonasi dengan prioritas domisili, kebijakan ini dapat meningkatkan kredibilitas sekolah desa dan swasta. Melalui PPDB prioritas domisili, akan terjadi penyebaran siswa berprestasi akademik dan non akademik secara merata. Siswa dengan orang tua kaya, dapat masuk sekolah dekat rumahnya dan ikut membantu membiaya pengembangan sarana prasarana sekolah yang dekat dengan tempat tinggalnya. Lambat laun dengan kondisi ini, kualitas pendidikan dapat menyebar secara merata.

Di sisi lain, orang tua siswa yang rumahnya tidak dekat sekolah, gelisah karena tidak mungkin diterima di sekolah yang dia inginkan karena jauh. Dia harus menyiapkan dana besar karena pasti harus mencari swasta berkualitas dengan biaya pendidikan selangit. Bagi orang tua ini, PPDB dengan prioritas domisili dianggap diskriminatif.

ARTIKEL TELAH DIMUAT DI FORUM GURU PIKIRAN RAKYAT KAMIS, 28 FEBRURI 2019
Namun demikian, kebijakan PPDB dengan prioritas nilai akademik, kebijakan itu sama-sama diskriminatif. Dia tidak pernah berpikir bahwa ketika nilai akademik menjadi syarat seleksi dalam PPDB, anak-anak dengan nilai akademik bodoh, harus puas masuk sekolah dengan layanan minim. Kejadian ini berjalan berpuluh-puluh tahun, ribuan anak yang dianggap bodoh, tidak cerdas secara akademik, diabaikan haknya untuk mendapat layanan pendidikan berkualitas. Pendidikan berkualitas hanya untuk orang-orang borjuis yang bisa cerdas karena bisa membiayai les akademik di lembaga private.

Pemerintah sudah sangat cerdas menangkap kondisi sosial masyarakat saat ini. Pendidikan berkualitas adalah milik semua warga negara. Seiring dengan penemuan-penemuan baru dalam dunia pendidikan, anak cerdas tidak lagi di dominasi oleh kecerdasan intelektual. Howard Gardner menemukan delapan kecerdasan yang dimiliki anak-anak. Stanley melakukan riset bahwa para milionare dengan kekayaan triliunan berasal dari anak-anak yang tidak cerdas secara intelektual. Stanley menyimpulkan bahwa antara anak-anak cerdas secara intelektual dan yang tidak, kelak penghasilan  ekonominnya tidak mengalami perbedaan signifikan.

Indonesia sebagai bangsa besar, tidak mungkin hanya mengandalkan sekolah-sekolah favorit untuk mepersiapkan generasi penerusnya. Kini pemerintah harus bekerja keras untuk membuat semua sekolah favorit. Salah satu kebijakannya adalah dengan membuat sistem rekruitmen PPDB yang tidak memprioritaskan salah satu kecerdasan. Kini setiap sekolah dituntut agar mampu meningkatkan kecerdasan semua siswa sesuai dengan kondisi dan kemampuan siswa masing-masing melalui layanan pendidikan.

Di era persaingan bebas, sekolah-sekolah tidak bisa lagi mempertahankan sekolah tetap berkualitas dengan bantuan kebijakan yang menguntungkan sepihak, di sisi lain merugikan. Setiap warga negara harus dijamin bisa mendapat perlakuan sama dihadapan hukum dalam mendapat layanan pendidikan berkualitas.

Tantangan bagi pengelola pendidikan untuk melakukan revolusi pendidikan, mengubah paradigma pendidikan, mengacu pada kualitas proses bukan pada kualitas input peserta didik. Sekolah-sekolah unggul ditandai dengan hadirnya para inovator di dalam lingkungan pendidikan, melayani anak-anak dengan berbagai macam pendekatan untuk mengembangkan berbagai macam kecerdasan yang dimiliki anak-anak.

Setiap kebijakan akan mengalami transisi, dan setiap transisi pasti akan ada masa krisis dan adaftasi. Pada masa krisis inilah harapan dan kekhawatiran akan muncul. Namun, penulis yakin masa transisi seiring waktu akan cepat berakhir dengan kemampuan adaftasi para guru dalam menghadapi segala macam perubahan zaman.

Bangsa besar tidak mungkin bangkit hanya dengan menghadapi masalah biasa, bangsa besar lahir dengan menghadapi masalah-masalah luar biasa. Sistem PPDB zonasi dengan prioritas domisili, adalah tantangan para praktisi pendidikan untuk keluar dari zona nyaman. Wallahu ‘alam.

(Penulis Kepala SMAN 1 Cipeundeuy KBB, dan Pengurus PGRI Kab. Cianjur)     

DARURAT PENDIDIKAN


OLEH: TOTO SUHARYA

Miris membaca fakta pendidikan dalam artikel Prof. Syamsul Rizal (Kompas/28/9/2018), “75% mahasiswa baru di suatu universitas, uji kemampuan berhitungnya tidak mempunyai kompetensi lulus SD, dan 95 persen mahasiswa tidak mempunyai kompetensi untuk lulus SMP. Fakta ini jangan dianggap remeh, karena akan mengancam generasi kita di masa mendatang, karena lulusan sarjana ini kemungkinan akan ada yang menjadi pendidik, dan ini ancaman bagi generasi kita di masa mendatang.

Selain itu dalam surat kabar yang sama tersaji data Badan Pusat Statistik bulan Februari 2018, membeberkan bahwa pengangguran terbuka di Indonesia berjumlah 6,87 juta penduduk. Dari jumlah itu, 8,92 persen lulusan SMK, 7,92 persen lulusan diploma, 7,19 persen lulusan SMA, 6,31 persen lulusan universitas, 5,18 persen lulusan SMP, dan 2,67 persen lulusan SD. Data ini sedang mempertanyakan kualitas pendidikan yang masih belum berhasil mengantarkan masyarakat hidup sejahtera.

Selain itu, hasil pendidikan kita mendapat keluhan dari para pengusaha. Sebanyak 460 perusahaan di Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan di survey. Hasilnya sebagian besar menyatakan rendahnya soft skill para karyawan. Berikut datanya, 92 persen pimpinan perusahaan menyatakan karyawannya sangat lemah dalam membaca; 90 persen menyatakan lemah dalam menulis, 84% lemah dalam etos kerja; 83% lemah dalam kemampuan komunikasi, dan 82% lemah dalam kerja tim. (Suara Hidayatullah, edisi Maret 2018).

ARTIKEL TELAH DIMUAT DI FORUM GURU PIKIRAN RAKYAT
Keluhan yang sama pernah saya dengar langsung dari laporan pimpinan dinas pendidikan wilayah, yang kedatangan para pengusaha lokal ke kantornya. Para pengusaha lokal tersebut dengan sedikit berkelakar bertanya, “apa yang dilakukan dunia pendidikan selama ini?”. Laporan dari para pengusaha lokal, anak-anak lulusan SMA/SMK yang datang melamar ke perusahaannya, memiliki kemampuan yang lemah dalam hal berkomunikasi. Hal ini terungkap ketika wawancara, anak-anak lebih banyak diam, dan tidak bisa menjawab hanya sekedar mengemukakan motivasi dan tujuan mereka masuk ke dunia kerja.

Fenomena ini menjadi jawaban bahwa pendidikan kita saat ini sedang mengalami krisis, diawali dari krisis tenaga kependidikan. Kunci kualitas pendidikan yang utama adalah tenaga kependidikan. Sementara ini, kebutuhan tenaga kependidikan tidak merata di setiap sekolah. Tenaga-tenaga pendidik tidak tetap yang jumlahnya hampir sama dengan tenaga pendidik tetap, masih mengalami masalah kesejahteraan dan kurang mendapat perhatian dalam layanan peningkatan kualitas profesi. Tenaga pendidik tidak tetap masih rentan terhadap perlakuan diskriminatif dari mulai tingkat sekolah sampai tingkat kedinasan. Pelatihan-pelatihan bidang profesi banyak melibatkan tenaga pendidik tetap, dan kecil sekali melibatkan pendidik tidak tetap.

Program-program pemerintah yang harus diperkuat untuk mengantisifasi darurat pendidikan kita adalah memberikan pemerataan fasilitas ke sekolah-sekolah negeri terlebih dahulu, dan melakukan inventarirasi kebutuhan tenaga pendidik sesuai latar belakang pendidikan. Data tersebut kemudian harus jadi data kebutuhan pendidik di lapangan, dan menentukan pembatasan dibukanya jurusan di perguruan tinggi agar universitas tidak terus memproduksi tenaga kependidikan yang jumlahnya sudah melebihi kebutuhan. Faktor ini menjadi penyebab terjadinya malapraktik pendidikan karena mata pelajaran tidak diajarkan oleh pendidik yang berlatarbelakang sesuai dengan mata pelajarannya.

Inilah faktor darurat yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah dengan serius. Sekalipun bangunan sekolah mau runtuh, jika tenaga pendidik masih tersedia, pembelajaran masih bisa tetap berlanjut. Seyogyanya perhatian terhadap peningkatan profesionalisme tenaga pendidik tidak boleh mengalami pasang surut, karena tenaga pendidik pofesional adalah ruhnya pendidikan. Wallahu ‘alam.

(Penulis Kepala SMAN 1 Cipeundeuy KBB, Pengurus PGRI Kab. Cianjur)

SELAMAT TINGGAL SKOR UJIAN

OLEH: TOTO SUHARYA

Saat ini masih banyak orang berpandangan, ukuran sekolah bagus masih dilihat dari berapa lulusan dengan skor tinggi dan  melanjutkan ke perguruan tinggi terbaik. Padahal setiap tahun hanya sebagian kecil anak-anak yang diterima di perguruan tinggi terbaik.

Sebagian besar lulusan sekolah menengah kita, tidak diterima di perguruan tinggi terbaik. Hanya beberapa lulusan yang punya kecerdasan intelektual standar, dan memiliki biaya, mereka melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi biasa-biasa.

Sedangkan jumlah terbesar lulusan sekolah menengah kita, mereka terjun langsung ke lapangan menjadi tulang punggung ekonomi negara. Mereka langsung berjuang untuk menjadi manusia-manusia mandiri dengan bekerja, atau berbisnis dengan cara-cara yang sedikit mereka ketahui. Sebagian lagi menjadi penganggur berijazah sekolah menengah, dan paling banyak dari lulusan sekolah kejuruan.

Bagi lulusan yang langsung terjun ke dunia kerja dan usaha, skor ujian tidak lagi jadi perhitungan. Hal yang jadi perhitungan pada saat masuk dunia kerja dan usaha adalah kreativitas, keterampilan membaca peluang, daya tahan dalam penderitaan (sabar), kejujuran, ketekunan, disiplin, dan optimisme.


Menurut Mc Clelland, dikutif Thomas J. Stanley (2015), “nilai ujian tinggi hanya dapat meramalkan prestasi di sekolah, dan tidak meramalkan sukses dalam hal prilaku dan hasil lainya. Kondisi ini menandakan bahwa sudah saatnya kita merubah cara pandang pendidikan kita, berburu skor ujian adalah model pendidikan usang dan sudah tidak jadi tendensi lagi dia abad 21.

Kondisi ini sudah dipahami oleh negara-negara maju, seperti tetangga kita. Kondisi ini kita tangkap dari dialog menteri pendidikan Singapura ketika berkunjung ke Amerika. Orang Amerika bertanya kepada menteri pendidikan Singapura, “apa yang anda cari di sini, kaum muda anda sudah mendapat skor tertinggi dalam setiap uji prestasi standar internasional?”  Menteri pendidikan menjawab, “satu-satunya hal yang bisa dilakukan kaum muda kami adalah menempuh ujian”. (Stanley, 2015:80).

Dialog di atas mengindikasikan kegelisahan menteri pendidikan Singapura terhadap generasi penerusnya. Menteri Pendidikan Singapura, seolah-solah telah menyadari bahwa dunia pendidikan harus segera berubah haluan, karena abad sudah berpindah, dan cara hidup masyarakat sudah berubah.

Jika pendidikan kita masih mempertahankan ukuran skor ujian sebagai kualitas manusia terbaik, kita telah mengorbankan generasi-generasi kita yang kreatif, jujur, dan pekerja keras. Pendidikan kita telah mengabaikan perhatian dari jumlah penduduk potensial kita yang jumlahnya sangat banyak.

Secara konstitusional arah pendidikan kita sudah berubah haluan, dengan menjadikan pendidikan karakter sebagai tendensi pendidikan abad 21. Namun selalu kalah dengan persepsi masyarakat yang masih belum berubah. Ujian-ujian masuk perguruan tinggi, pemerintahan, militer, perusahaan, masih berkutat mempermasalahkan nilai skor ujian.

Belum ada sistem rekruitmen yang mengendepankan pada pendidikan karakter yang sudah digarap di sekolah-sekolah menengah. Pada kenyataannya dari hasil penelitian Stanley, mereka yang menduduki skor tinggi dengan yang rendah, pada akhirnya keadaan ekonomi mereka sama-sama baik. Bahkan para miliarder dunia, terlahir dari mereka yang skor ujiannya tidak tergolong tinggi. Padahal para miliarderlah yang berhasil mengubah keadaan ekonomi dunia saat ini. Masihkan kita percaya pada ujian skor tinggi? Sedangkan abad sudah berpindah, dan dunia sudah berubah.


Kepala SMAN 1 Cipeundeuy Bandung Barat

Sunday, June 2, 2019

ENTREPRENEUR KOMPETENSI ABAD KE-21

 OLEH: TOTO SUHARYA

 “Setiap orang adalah entrepreneur”, demikian menurut Rhenald Kasali (2018). Penulis sependapat pada dasarnya manusia adalah seorang entrepreneur, karena setiap orang selalu berpikir, mengambil keputusan dan berusaha bertahan hidup. Sekecil apapun kita selalu ingin menyelesaikan masalah, karena itu naluri manusia. Entrepreneur secara etimologi adalah melakukan.

 Kemampuan literasi menunjukkan derajat kualitas entrepreneurship seseorang. (Johnson, dkk. 2015, hlm. 10). Berpikir, mengambil keputusan, bertahan hidup, dan menyelesaikan masalah tidak mungkin dilakukan tanpa pengetahuan.  Semakin luas pengetahuan semakin tinggi kemampuan entrepreneur seseorang. Maka sudah pasti, seorang entrepreneur adalah seorang pembelajaran. 

Praktek pendidikan entrepreneur di dunia pendidikan masih sangat terbatas. Program pendidikan entrepreneur yang digagas tiap tahun oleh Kemdikbud  sangat tepat untuk dikembangkan lebih luas dan merata. Dari penjelasan Direktorat PSMA Kemdikbud, peserta lomba kewirausahaan tahun 2018 peserta terbanyak diduduki  oleh Yogyakarta (175), Aceh (104), Jawa Timur (92), Jawa Tengah (65), Bali (57), Bengkulu (55), Jawa Barat (41), Banten (40), Sulawesi Selatan (25), dan Kalimantan Barat (19). Jawa Barat dengan jumlah sekolah terbilang sangat banyak masih perlu kerja keras untuk mensosialisasikan program entrepreneur ke setiap sekolah. 

ARTIKEL TELAH DITERBITKAN PADA KORAN PIKIRAN RAKYAT RUBRIK FORUM GURU SENIN 20 MEI 2019
Secara umum konsep entrepreneur selalu dikaitkan dengan aktivitas ekonomi, dan lebih spesifik kepada aktivitas dagang (jual beli). Namun, jika dikaji secara fiosofis, seluruh aktivitas manusia adalah perdagangan, dalam arti untuk mendapatkan segala sesuatu manusia harus mengeluarkan. Di sekolah, rumah, kantor, jalan, semua didasari aktivitas dagang. Semua benda atau jasa yang kita dapatkan didapat melalui perdagangan. Untuk itulah kompetensi entrepreneur wajib dipahami dan diajarkan kepada setiap peserta didik. 

Ditinjau dari sudut pandang agama, hidup adalah perniagaan/perdagangan (tijaroh). Allah berfirman, “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Al-Baqarah, 2:275). Maka dijadikannya jual beli halal karena aktivitas jual beli (saling memberi) adalah aktivitas terpuji yang tidak merendahkan harkat manusia. Manusia-manusia berkualitas tinggi, adalah manusia yang dapat memberi kehidupan kepada banyak manusia. 

Menurut Baladina (2012, hlm.123), Geertz dalam penelitiannya menemukan bahwa kaum santri (kelompok taat beragama) memiliki etos kerja dan etos wirausaha (entrepreneurship) lebih tinggi dibanding kelompok lain.  Mengapa jiwa entrepreneur dimiliki kaum taat beragama, hal ini dapat dipahami jika merujuk pada hadis Nabi yang mendorong pengembangan semangat entrepreneurship antar lain, ”Hendaklah kamu berdagang, karena di dalamnya terdapat 90 persen pintu rezeki” (HR Ahmad). ”Sesungguhnya sebaik-baik mata pencaharian adalah seorang pedagang (entrepreneur)” (HR Baihaqy).  

Syahrial (dalam Baladina, 2012, hlm.128) menjelaskan dalam kitab musnad Imam Ahmad juz 4 dan “The History of  Islam” diceritakan bahwa Muhammad baru berusia dua belas tahun ketika pergi ke Syria berdagang bersama Abu Thalib, pamannya. Ketika pamannya meninggal dunia, beliau tumbuh dan berkembang menjadi seorang entrepreneur yang mandiri, melakukan perdagangan keliling di kota Makkah dengan rajin, penuh dedikasi pada usahanya.  

Ciri paling mendasar manusia sebagai makhluk entrepreneur adalah aktivitas berpikir. Hamka (2018, hlm. 81) berpendapat,  “agama bukan filsafat! Tetapi dengan merenungi filsafat, orang dapat bertambah iman dalam agama. Dalam hadis riwayat Anas, pernah dipuji-puji seorang sahabat dekat Rasulullah, dipuji ibadahnya, dipuji perangainya, dipuji keimanannya, adabnya, dan kesopanannya. Tetapi Rasulullah tiada memperdulikan pujian tersebut, hanya beliau bertanya, “bagimanakah akalnya? Nabi Muhammad bersabda, “sesungguhnya orang yang bodoh tetapi rajin beribadah telah tertimpa bahaya lataran kebodohannya, lebih besar dari ada bahaya yang menimpa lantaran kejahatan orang yang durjana. Yang mengangkat manusia kepada derajat dekat kepada Tuhan ialah menurut kadar akal mereka jua”. 

Dengan semangat mengabdi kepada Tuhan YME, entrepreneur tidak pernah malas bekerja untuk membantu sesama. Para entrepreneur selalu berpikir do the best, well done! Entrepereneur adalah kompetensi abad 21 yang harus dimiliki anak-anak Indoensia untuk menuju Indonesia emas 2045. Wallahu ‘alam. 

(Penulis Kepala SMAN 1 Cipeundeuy KBB)

AKTUALISASI DIRI


OLEH: TOTO SUHARYA

Dari pandangan kelompok Humanis, diwakili oleh Maslow (1954), “pada prinsipnya setiap bayi yang lahir terdapat kemampuan aktif ke arah pertumbuhan aktualisasi potensi-potensi manusia. (Supardan, 2015, hlm. 219). Atas dasar teori ini, tugas pendidikan memfasilitasi anak-anak agar bisa beraktualisasi diri dengan potensi-potensi yang dimilikinya sejak lahir.

Potensi-potensi yang ada pada anak, oleh Gardner diidentifikasi menjadi delapan kecerdasan yaitu logika, kinestetik, linguistik, musik, interpersonal, antarpersonal, visual-spasial, dan natural. Aktualisasi diri menurut Schunk (2012), “setelah memenuhi kebutuhan makan, minum, rasa aman, dan kebersamaan, sampailah pada puncak yaitu keyakinan terhadap diri dan orang lain, berwujud dalam prestasi, kemandirian, professional, dan pengakuan dari orang lain”.  (Supardan, 2015, hlm. 220).

Mengacu pada penelitian Danah Zohar dan Ian Marshal, kecerdasan manusia ditambah satu yaitu kecerdasan spiritual. Kecerdasan ini ada karena kecenderungan manusia mencari makna hidup dari yang transenden (Tuhan). Penulis mengatatakan kecerdasan ini berkaitan dengan pemahaman manusia tentang segala kejadian dihubungkan dengan eksistensi Tuhan.

Tugas sekolah menumbuhkan sembilan kecerdasan yang ada pada anak-anak dengan berbagai macam cara agar mereka bisa beraktualisasi diri. Menurut Goble, (1970), “kebanyakan manusia hanya mampu memenuhi kebutuhan makan, minum, dan rasa aman, hanya 1% manusia yang betul-betul mencapai kebutuhan aktualisasi dirinya”. Jika demikian, pendidikan selama ini hanya melahirkan manusia-manusia rakus yang tidak pernah puas makan, minum dan merasa aman untuk dirinya.


Kebutuhan dasar manusia adalah beraktualisasi diri, diawali dengan kesadaran untuk hidup bersama, dengan melakukan tindakan-tindakan yang dilandasi keyakinan bahwa dirinya harus bermanfaat bagi dirinya dan orang lain sebagai bentuk ketaatan kepada Tuhan. Kebutuhan aktualisasi diri manusia yang harus selalu difasilitasi adalah bertindak atas dasar keyakinan pada Tuhan, memanfaatkan harta  yang dimiliki sekecil apapun untuk kesejahteraan manusia dan alam.  Dalam ajaran agama aktualisasi diri manusia dibingkai dalam empat konsep yaitu shalat-sabar, sedekah-ikhlas.

Agar bisa memenuhi semua kebutuhan dasarnya, manusia bukan dilatih untuk bisa makan dan minum, tetapi difasilitasi untuk beraktualisasi diri.  Di bulan Ramadhan ini, Allah tidak memerintahkan manusia menerima zakat, tetapi membayar zakat. Semua yang diajarkan Tuhan memfasilitasi manusia untuk selalu beraktualisasi diri. Ramadhan adalah bulan pendidikan yang memfasilitasi manusia berpuasa sebagai pendidikan agar kita beraktualisasi diri. Ini makna mengapa bulan Ramadhan dapat dikatakan sebagai bulan pendidikan. Wallahu alam.

(Penulis Kepala SMAN 1 Cipeundeuy KBB).

BERPIKIR CEPAT

Oleh: Dr. Toto Suharya, S.Pd., M.Pd. Berat otak manusia sekitar 1,3 kg atau 2% dari berat badan. Otak tidak pernah berhenti bekerja sekalipu...