OLEH: TOTO SUHARYA
Berbicang-bincang
dengan kepala sekolah senior disela-sela pelantikan Asosiasi Kepala Sekolah
Indonesia (AKSI) DPC kota Bandung, saya menangkap kekhawatiran para senior.
Kekhawatiran itu, dikemukan bahwa PPDB zonasi dengan prioritas domisili
berdasarkan kartu keluarga, telah ditafsir oleh segelintir orang untuk
meruntuhkan kejayaan sekolah-sekolah favorit.
Para
senior mengkhawatrikan sistem peneriman peserta didik baru berdasarkan pada domisili,
sekolah-sekolah favorit yang ada di tengah kota terancam tidak akan dapat
siswa, atau kualitasnya menurun karena akan dimasuki siswa dari berbagai macam
latar belakang siswa. Kekhawatiran ini menjadi harapan akan ada kebijakan
khusus terhadap sekolah-sekolah favorit agar tetap favorit.
Dari
sudut pandang lain, bagi sekolah di desa dan swasta, kebijakan PPDB zonasi
dengan prioritas domisili, kebijakan ini dapat meningkatkan kredibilitas
sekolah desa dan swasta. Melalui PPDB prioritas domisili, akan terjadi
penyebaran siswa berprestasi akademik dan non akademik secara merata. Siswa
dengan orang tua kaya, dapat masuk sekolah dekat rumahnya dan ikut membantu
membiaya pengembangan sarana prasarana sekolah yang dekat dengan tempat
tinggalnya. Lambat laun dengan kondisi ini, kualitas pendidikan dapat menyebar
secara merata.
Di
sisi lain, orang tua siswa yang rumahnya tidak dekat sekolah, gelisah karena
tidak mungkin diterima di sekolah yang dia inginkan karena jauh. Dia harus
menyiapkan dana besar karena pasti harus mencari swasta berkualitas dengan
biaya pendidikan selangit. Bagi orang tua ini, PPDB dengan prioritas domisili
dianggap diskriminatif.
ARTIKEL TELAH DIMUAT DI FORUM GURU PIKIRAN RAKYAT KAMIS, 28 FEBRURI 2019 |
Namun
demikian, kebijakan PPDB dengan prioritas nilai akademik, kebijakan itu
sama-sama diskriminatif. Dia tidak pernah berpikir bahwa ketika nilai akademik
menjadi syarat seleksi dalam PPDB, anak-anak dengan nilai akademik bodoh, harus
puas masuk sekolah dengan layanan minim. Kejadian ini berjalan berpuluh-puluh
tahun, ribuan anak yang dianggap bodoh, tidak cerdas secara akademik, diabaikan
haknya untuk mendapat layanan pendidikan berkualitas. Pendidikan berkualitas
hanya untuk orang-orang borjuis yang bisa cerdas karena bisa membiayai les
akademik di lembaga private.
Pemerintah
sudah sangat cerdas menangkap kondisi sosial masyarakat saat ini. Pendidikan
berkualitas adalah milik semua warga negara. Seiring dengan penemuan-penemuan
baru dalam dunia pendidikan, anak cerdas tidak lagi di dominasi oleh kecerdasan
intelektual. Howard Gardner menemukan delapan kecerdasan yang dimiliki
anak-anak. Stanley melakukan riset bahwa para milionare dengan kekayaan
triliunan berasal dari anak-anak yang tidak cerdas secara intelektual. Stanley
menyimpulkan bahwa antara anak-anak cerdas secara intelektual dan yang tidak,
kelak penghasilan ekonominnya tidak
mengalami perbedaan signifikan.
Indonesia
sebagai bangsa besar, tidak mungkin hanya mengandalkan sekolah-sekolah favorit
untuk mepersiapkan generasi penerusnya. Kini pemerintah harus bekerja keras
untuk membuat semua sekolah favorit. Salah satu kebijakannya adalah dengan
membuat sistem rekruitmen PPDB yang tidak memprioritaskan salah satu
kecerdasan. Kini setiap sekolah dituntut agar mampu meningkatkan kecerdasan
semua siswa sesuai dengan kondisi dan kemampuan siswa masing-masing melalui
layanan pendidikan.
Di
era persaingan bebas, sekolah-sekolah tidak bisa lagi mempertahankan sekolah
tetap berkualitas dengan bantuan kebijakan yang menguntungkan sepihak, di sisi
lain merugikan. Setiap warga negara harus dijamin bisa mendapat perlakuan sama
dihadapan hukum dalam mendapat layanan pendidikan berkualitas.
Tantangan
bagi pengelola pendidikan untuk melakukan revolusi pendidikan, mengubah paradigma
pendidikan, mengacu pada kualitas proses bukan pada kualitas input peserta
didik. Sekolah-sekolah unggul ditandai dengan hadirnya para inovator di dalam lingkungan
pendidikan, melayani anak-anak dengan berbagai macam pendekatan untuk
mengembangkan berbagai macam kecerdasan yang dimiliki anak-anak.
Setiap
kebijakan akan mengalami transisi, dan setiap transisi pasti akan ada masa
krisis dan adaftasi. Pada masa krisis inilah harapan dan kekhawatiran akan
muncul. Namun, penulis yakin masa transisi seiring waktu akan cepat berakhir
dengan kemampuan adaftasi para guru dalam menghadapi segala macam perubahan
zaman.
Bangsa
besar tidak mungkin bangkit hanya dengan menghadapi masalah biasa, bangsa besar
lahir dengan menghadapi masalah-masalah luar biasa. Sistem PPDB zonasi dengan
prioritas domisili, adalah tantangan para praktisi pendidikan untuk keluar dari
zona nyaman. Wallahu ‘alam.
(Penulis
Kepala SMAN 1 Cipeundeuy KBB, dan Pengurus PGRI Kab. Cianjur)
No comments:
Post a Comment