Tuesday, June 4, 2019

GURU BERBASIS ZONASI


OLEH: TOTO SUHARYA

“Jika masalah guru tertangani dengan baik, sekitar 70 persen urusan pendidikan di Indonesia selesai”. (kompas, 28/11/2018). Menyimak pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini, 1000 persen saya setuju sekalipun pernyataannya hanya sebatas nalar sehat seorang menteri. Masalah mendasar dalam dunia pendidikan kita adalah kualitas guru. Perhatian pemerintah terhadap guru tidak boleh mengalami pasang surut. Peradaban boleh berubah, teknologi boleh berubah, tetapi guru kedudukannya tidak akan tergantikan.

ARTIKEL TELAH DIMUAT DI FORUM GURU PIKIRAN RAKYAT
Negara-negara kaya yang banyak membelanjakan dananya untuk pendidikan dapat memberikan layanan pendidikan yang lebih berkualitas dibanding negara-negara miskin yang membelanjakan dananya lebih sedikit untuk pendidikan. Sebagai contoh di negara-negara yang mengalokasikan dana pendidikan lebih besar, satu guru melayani 20 orang siswa, sedangkan di negara-negara yang kecil alokasi dana pendidikannya satu orang guru melayani 30 orang siswa. (Orstein & Levine, 2018).

Lebih lanjut dijelaskan, keberhasilan pendidikan di negara maju, ternyata tidak lepas dari peran guru berkualitas. Sekalipun pengajaran lebih banyak ceramah dan siswa menyimak duduk di kursi, pada sekolah dasar di Selandia Baru, mereka telah menerapkan sistem pengajaran yang menekankan pada keterampilan membaca. Anak-anak belajar menemukan kontek saat mereka membaca, dari naskah yang menggunakan bahasa sehari-hari. Pembelajaran ini telah berhasil meningkatkan kecerdasan anak-anak sampai jenjang perguruan tinggi. Pembelajaran menekankan pada keterampilan berpikir, didukung oleh guru-guru berkualitas tinggi, dan sarana prasarana kelas, dan pembaruan alat laboratorium.

Kesimpulan dari penelitian PISA, TIMMS, PIRLS, menyimpulkan bahwa nilai nasional pada mata pelajaran seperti membaca, matematika, dan sains cenderung sangat berkorelasi. Tujuh dari negara dengan skor membaca tertinggi dalam data yang dikumpulkan oleh PISA, juga berada di delapan negara tertinggi yang memperoleh skor tertinggi dalam matematika dan sains. Penelitian ini mengkerucutkan arti kualitas seorang guru harus diukur dari budaya literasi. Di Amerika Serikat, budaya literasi yang dimiliki seorang calon guru, menjadi syarat kelulusan dalam seleksi calon guru. Kemampuan baca rendah anak-anak didik, tidak lepas dari campur tangan para guru.

Berkaitan dengan rencana peningkatan mutu guru berbasis zonasi, penulis tidak menemukan hal esensial dalam kebijakan baru ini. Pokok dasar masalah guru, bukan pada metode pembenahannya yang harus dikedepankan oleh pemerintah, tetapi masalah pemetaan dan distribusi guru. Jumlah 3,1 juta orang guru PNS secara nasional, telah memenuhi kuota kebutuhan guru, tetapi jika dilihat fakta dilapangan masih ada sekolah tanpa guru PNS.

Permasalahan mendasar lainnya adalah masalah konten dan konsitensi dalam model penigkatan mutu guru. Program sertifikasi dengan tunjangan sertifikasi banyak dikritisi tidak menghasilkan apa-apa untuk guru, bukan berarti program sertifikasi guru gagal meningkatkan kualitas guru, tetapi ada subtansi program yang harus dievaluasi. Amerika Serikat yang sudah lebih dulu melakukan program sertifikasi sampai sekarang masih menghadapi kendala dalam hal kualitas guru.

Upaya yang dilakukan mereka adalah melakukan seleksi ketat dalam rekruitmen guru, dan meningkatkan peran serta organisasi profesi guru dalam mengawal kualitas guru. Selain itu, pemerintah Amerika terus membenahi lembaga-lembaga pendidikan yang mendidik para calon guru, dengan melakukan akreditasi ketat pada lembaga tersebut. Dari sisi keilmuan, profesi guru yang masih dianggap semi profesi, secara keilmuan harus terus ditingkatkan melibatkan lembaga pendidikan tinggi keguruan (LPTK) terakreditasi sangat baik, agar keilmuannya sama dengan dokter dan pengacara. Dengan demikian tidak bisa sembarangan orang dengan berbagai macam latar belakang pendidikan bisa menjadi guru. Awal karier seorang guru, harus diawali dari panggilan jiwa dan punya kepribadian seorang guru.

Kegagalan pemerintah dalam menata kebutuhan guru, terlihat pada rekruitmen calon guru  yang latar belakang pendidikannya tidak tersedia dilapangan seperti guru kewirausahaan. Alhasil pada kuota guru kewirausahaan tidak ada satu pun calon guru yang mendaftar karena tidak ada lembaga pendidikan tinggi yang menyediakan sarjana kewirausahan. Untuk itu, pemerintah harus betul-betul serius mengelola kebutuhan guru, dengan menggali data dari lapangan dan melibatkan akdemisi, praktisi, dan organisasi profesi guru ketika akan mengeksekusi sebuah kebijakan dalam penataan dan peningkatan kualitas guru.

Berdasarkan survey di tingkat internasional, masyarakat Indonesia masih memiliki penghormatan tinggi kepada guru. Penghormatan masyarakat kepada guru, harus segera diimbangi dengan program-program peningkatan mutu guru melalui evaluasi substansi program sertifikasi yang sudah ada secara berkelanjutan. Wallahu ‘alam.

(Penulis Kepala SMAN 1 Cipeundeuy, Pengurus PGRI Kab. Cianjur)
   

No comments:

Post a Comment

BERPIKIR CEPAT

Oleh: Dr. Toto Suharya, S.Pd., M.Pd. Berat otak manusia sekitar 1,3 kg atau 2% dari berat badan. Otak tidak pernah berhenti bekerja sekalipu...