OLEH: TOTO SUHARYA
“Jika
masalah guru tertangani dengan baik, sekitar 70 persen urusan pendidikan di
Indonesia selesai”. (kompas, 28/11/2018). Menyimak pernyataan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan ini, 1000 persen saya setuju sekalipun pernyataannya
hanya sebatas nalar sehat seorang menteri. Masalah mendasar dalam dunia
pendidikan kita adalah kualitas guru. Perhatian pemerintah terhadap guru tidak
boleh mengalami pasang surut. Peradaban boleh berubah, teknologi boleh berubah,
tetapi guru kedudukannya tidak akan tergantikan.
ARTIKEL TELAH DIMUAT DI FORUM GURU PIKIRAN RAKYAT |
Negara-negara
kaya yang banyak membelanjakan dananya untuk pendidikan dapat memberikan
layanan pendidikan yang lebih berkualitas dibanding negara-negara miskin yang
membelanjakan dananya lebih sedikit untuk pendidikan. Sebagai contoh di
negara-negara yang mengalokasikan dana pendidikan lebih besar, satu guru
melayani 20 orang siswa, sedangkan di negara-negara yang kecil alokasi dana
pendidikannya satu orang guru melayani 30 orang siswa. (Orstein & Levine,
2018).
Lebih
lanjut dijelaskan, keberhasilan pendidikan di negara maju, ternyata tidak lepas
dari peran guru berkualitas. Sekalipun pengajaran lebih banyak ceramah dan
siswa menyimak duduk di kursi, pada sekolah dasar di Selandia Baru, mereka
telah menerapkan sistem pengajaran yang menekankan pada keterampilan membaca.
Anak-anak belajar menemukan kontek saat mereka membaca, dari naskah yang
menggunakan bahasa sehari-hari. Pembelajaran ini telah berhasil meningkatkan
kecerdasan anak-anak sampai jenjang perguruan tinggi. Pembelajaran menekankan
pada keterampilan berpikir, didukung oleh guru-guru berkualitas tinggi, dan
sarana prasarana kelas, dan pembaruan alat laboratorium.
Kesimpulan
dari penelitian PISA, TIMMS, PIRLS, menyimpulkan bahwa nilai nasional pada mata
pelajaran seperti membaca, matematika, dan sains cenderung sangat berkorelasi.
Tujuh dari negara dengan skor membaca tertinggi dalam data yang dikumpulkan
oleh PISA, juga berada di delapan negara tertinggi yang memperoleh skor
tertinggi dalam matematika dan sains. Penelitian ini mengkerucutkan arti
kualitas seorang guru harus diukur dari budaya literasi. Di Amerika Serikat,
budaya literasi yang dimiliki seorang calon guru, menjadi syarat kelulusan
dalam seleksi calon guru. Kemampuan baca rendah anak-anak didik, tidak lepas
dari campur tangan para guru.
Berkaitan
dengan rencana peningkatan mutu guru berbasis zonasi, penulis tidak menemukan
hal esensial dalam kebijakan baru ini. Pokok dasar masalah guru, bukan pada
metode pembenahannya yang harus dikedepankan oleh pemerintah, tetapi masalah
pemetaan dan distribusi guru. Jumlah 3,1 juta orang guru PNS secara nasional,
telah memenuhi kuota kebutuhan guru, tetapi jika dilihat fakta dilapangan masih
ada sekolah tanpa guru PNS.
Permasalahan
mendasar lainnya adalah masalah konten dan konsitensi dalam model penigkatan
mutu guru. Program sertifikasi dengan tunjangan sertifikasi banyak dikritisi
tidak menghasilkan apa-apa untuk guru, bukan berarti program sertifikasi guru
gagal meningkatkan kualitas guru, tetapi ada subtansi program yang harus
dievaluasi. Amerika Serikat yang sudah lebih dulu melakukan program sertifikasi
sampai sekarang masih menghadapi kendala dalam hal kualitas guru.
Upaya
yang dilakukan mereka adalah melakukan seleksi ketat dalam rekruitmen guru, dan
meningkatkan peran serta organisasi profesi guru dalam mengawal kualitas guru.
Selain itu, pemerintah Amerika terus membenahi lembaga-lembaga pendidikan yang
mendidik para calon guru, dengan melakukan akreditasi ketat pada lembaga
tersebut. Dari sisi keilmuan, profesi guru yang masih dianggap semi profesi,
secara keilmuan harus terus ditingkatkan melibatkan lembaga pendidikan tinggi
keguruan (LPTK) terakreditasi sangat baik, agar keilmuannya sama dengan dokter
dan pengacara. Dengan demikian tidak bisa sembarangan orang dengan berbagai
macam latar belakang pendidikan bisa menjadi guru. Awal karier seorang guru,
harus diawali dari panggilan jiwa dan punya kepribadian seorang guru.
Kegagalan
pemerintah dalam menata kebutuhan guru, terlihat pada rekruitmen calon guru yang latar belakang pendidikannya tidak
tersedia dilapangan seperti guru kewirausahaan. Alhasil pada kuota guru
kewirausahaan tidak ada satu pun calon guru yang mendaftar karena tidak ada
lembaga pendidikan tinggi yang menyediakan sarjana kewirausahan. Untuk itu,
pemerintah harus betul-betul serius mengelola kebutuhan guru, dengan menggali
data dari lapangan dan melibatkan akdemisi, praktisi, dan organisasi profesi
guru ketika akan mengeksekusi sebuah kebijakan dalam penataan dan peningkatan
kualitas guru.
Berdasarkan
survey di tingkat internasional, masyarakat Indonesia masih memiliki
penghormatan tinggi kepada guru. Penghormatan masyarakat kepada guru, harus
segera diimbangi dengan program-program peningkatan mutu guru melalui evaluasi substansi
program sertifikasi yang sudah ada secara berkelanjutan. Wallahu ‘alam.
(Penulis Kepala SMAN 1 Cipeundeuy,
Pengurus PGRI Kab. Cianjur)
No comments:
Post a Comment