OLEH: TOTO SUHARYA
Saat
ini masih banyak orang berpandangan, ukuran sekolah bagus masih dilihat dari berapa
lulusan dengan skor tinggi dan melanjutkan ke perguruan tinggi terbaik.
Padahal setiap tahun hanya sebagian kecil anak-anak yang diterima di perguruan
tinggi terbaik.
Sebagian
besar lulusan sekolah menengah kita, tidak diterima di perguruan tinggi
terbaik. Hanya beberapa lulusan yang punya kecerdasan intelektual standar, dan memiliki
biaya, mereka melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi biasa-biasa.
Sedangkan
jumlah terbesar lulusan sekolah menengah kita, mereka terjun langsung ke
lapangan menjadi tulang punggung ekonomi negara. Mereka langsung berjuang untuk
menjadi manusia-manusia mandiri dengan bekerja, atau berbisnis dengan cara-cara
yang sedikit mereka ketahui. Sebagian lagi menjadi penganggur berijazah sekolah
menengah, dan paling banyak dari lulusan sekolah kejuruan.
Bagi
lulusan yang langsung terjun ke dunia kerja dan usaha, skor ujian tidak lagi
jadi perhitungan. Hal yang jadi perhitungan pada saat masuk dunia kerja dan
usaha adalah kreativitas, keterampilan membaca peluang, daya tahan dalam
penderitaan (sabar), kejujuran, ketekunan, disiplin, dan optimisme.
Menurut
Mc Clelland, dikutif Thomas J. Stanley (2015), “nilai ujian tinggi hanya dapat
meramalkan prestasi di sekolah, dan tidak meramalkan sukses dalam hal prilaku
dan hasil lainya. Kondisi ini menandakan bahwa sudah saatnya kita merubah cara
pandang pendidikan kita, berburu skor ujian adalah model pendidikan usang dan
sudah tidak jadi tendensi lagi dia abad 21.
Kondisi
ini sudah dipahami oleh negara-negara maju, seperti tetangga kita. Kondisi ini
kita tangkap dari dialog menteri pendidikan Singapura ketika berkunjung ke
Amerika. Orang Amerika bertanya kepada menteri pendidikan Singapura, “apa yang
anda cari di sini, kaum muda anda sudah mendapat skor tertinggi dalam setiap
uji prestasi standar internasional?”
Menteri pendidikan menjawab, “satu-satunya hal yang bisa dilakukan kaum
muda kami adalah menempuh ujian”. (Stanley, 2015:80).
Dialog
di atas mengindikasikan kegelisahan menteri pendidikan Singapura terhadap
generasi penerusnya. Menteri Pendidikan Singapura, seolah-solah telah menyadari
bahwa dunia pendidikan harus segera berubah haluan, karena abad sudah
berpindah, dan cara hidup masyarakat sudah berubah.
Jika
pendidikan kita masih mempertahankan ukuran skor ujian sebagai kualitas manusia
terbaik, kita telah mengorbankan generasi-generasi kita yang kreatif, jujur,
dan pekerja keras. Pendidikan kita telah mengabaikan perhatian dari jumlah
penduduk potensial kita yang jumlahnya sangat banyak.
Secara
konstitusional arah pendidikan kita sudah berubah haluan, dengan menjadikan
pendidikan karakter sebagai tendensi pendidikan abad 21. Namun selalu kalah
dengan persepsi masyarakat yang masih belum berubah. Ujian-ujian masuk
perguruan tinggi, pemerintahan, militer, perusahaan, masih berkutat
mempermasalahkan nilai skor ujian.
Belum
ada sistem rekruitmen yang mengendepankan pada pendidikan karakter yang sudah
digarap di sekolah-sekolah menengah. Pada kenyataannya dari hasil penelitian
Stanley, mereka yang menduduki skor tinggi dengan yang rendah, pada akhirnya
keadaan ekonomi mereka sama-sama baik. Bahkan para miliarder dunia, terlahir
dari mereka yang skor ujiannya tidak tergolong tinggi. Padahal para
miliarderlah yang berhasil mengubah keadaan ekonomi dunia saat ini. Masihkan
kita percaya pada ujian skor tinggi? Sedangkan abad sudah berpindah, dan dunia
sudah berubah.
Kepala SMAN 1
Cipeundeuy Bandung Barat
No comments:
Post a Comment