OLEH:
TOTO SUHARYA
Miris membaca fakta pendidikan dalam
artikel Prof. Syamsul Rizal (Kompas/28/9/2018), “75% mahasiswa baru di suatu
universitas, uji kemampuan berhitungnya tidak mempunyai kompetensi lulus SD,
dan 95 persen mahasiswa tidak mempunyai kompetensi untuk lulus SMP. Fakta ini
jangan dianggap remeh, karena akan mengancam generasi kita di masa mendatang,
karena lulusan sarjana ini kemungkinan akan ada yang menjadi pendidik, dan ini
ancaman bagi generasi kita di masa mendatang.
Selain
itu dalam surat kabar yang sama tersaji data Badan Pusat Statistik bulan Februari
2018, membeberkan bahwa pengangguran terbuka di Indonesia berjumlah 6,87 juta
penduduk. Dari jumlah itu, 8,92 persen lulusan SMK, 7,92 persen lulusan
diploma, 7,19 persen lulusan SMA, 6,31 persen lulusan universitas, 5,18 persen lulusan
SMP, dan 2,67 persen lulusan SD. Data ini sedang mempertanyakan kualitas
pendidikan yang masih belum berhasil mengantarkan masyarakat hidup sejahtera.
Selain itu, hasil pendidikan kita
mendapat keluhan dari para pengusaha. Sebanyak 460 perusahaan di Jawa,
Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan di survey. Hasilnya sebagian besar
menyatakan rendahnya soft skill para
karyawan. Berikut datanya, 92 persen pimpinan perusahaan menyatakan karyawannya
sangat lemah dalam membaca; 90 persen menyatakan lemah dalam menulis, 84% lemah
dalam etos kerja; 83% lemah dalam kemampuan komunikasi, dan 82% lemah dalam
kerja tim. (Suara Hidayatullah, edisi Maret 2018).
ARTIKEL TELAH DIMUAT DI FORUM GURU PIKIRAN RAKYAT |
Keluhan yang sama pernah saya dengar
langsung dari laporan pimpinan dinas pendidikan wilayah, yang kedatangan para
pengusaha lokal ke kantornya. Para pengusaha lokal tersebut dengan sedikit
berkelakar bertanya, “apa yang dilakukan dunia pendidikan selama ini?”. Laporan
dari para pengusaha lokal, anak-anak lulusan SMA/SMK yang datang melamar ke
perusahaannya, memiliki kemampuan yang lemah dalam hal berkomunikasi. Hal ini
terungkap ketika wawancara, anak-anak lebih banyak diam, dan tidak bisa
menjawab hanya sekedar mengemukakan motivasi dan tujuan mereka masuk ke dunia
kerja.
Fenomena ini menjadi jawaban bahwa
pendidikan kita saat ini sedang mengalami krisis, diawali dari krisis tenaga
kependidikan. Kunci kualitas pendidikan yang utama adalah tenaga kependidikan.
Sementara ini, kebutuhan tenaga kependidikan tidak merata di setiap sekolah.
Tenaga-tenaga pendidik tidak tetap yang jumlahnya hampir sama dengan tenaga
pendidik tetap, masih mengalami masalah kesejahteraan dan kurang mendapat
perhatian dalam layanan peningkatan kualitas profesi. Tenaga pendidik tidak
tetap masih rentan terhadap perlakuan diskriminatif dari mulai tingkat sekolah
sampai tingkat kedinasan. Pelatihan-pelatihan bidang profesi banyak melibatkan
tenaga pendidik tetap, dan kecil sekali melibatkan pendidik tidak tetap.
Program-program pemerintah yang
harus diperkuat untuk mengantisifasi darurat pendidikan kita adalah memberikan
pemerataan fasilitas ke sekolah-sekolah negeri terlebih dahulu, dan melakukan
inventarirasi kebutuhan tenaga pendidik sesuai latar belakang pendidikan. Data
tersebut kemudian harus jadi data kebutuhan pendidik di lapangan, dan menentukan
pembatasan dibukanya jurusan di perguruan tinggi agar universitas tidak terus
memproduksi tenaga kependidikan yang jumlahnya sudah melebihi kebutuhan. Faktor
ini menjadi penyebab terjadinya malapraktik pendidikan karena mata pelajaran
tidak diajarkan oleh pendidik yang berlatarbelakang sesuai dengan mata
pelajarannya.
Inilah faktor darurat yang harus
segera diselesaikan oleh pemerintah dengan serius. Sekalipun bangunan sekolah
mau runtuh, jika tenaga pendidik masih tersedia, pembelajaran masih bisa tetap
berlanjut. Seyogyanya perhatian terhadap peningkatan profesionalisme tenaga
pendidik tidak boleh mengalami pasang surut, karena tenaga pendidik pofesional adalah
ruhnya pendidikan. Wallahu ‘alam.
(Penulis
Kepala SMAN 1 Cipeundeuy KBB, Pengurus PGRI Kab. Cianjur)
No comments:
Post a Comment