OLEH: TOTO SUHARYA
Ketika jargon “merdeka belajar”
digulirkan oleh kementerian pendidikan dibawah kepemimpinan Mas Nadiem, banyak
orang bertanya-tanya apa sebenar esensi dari merdeka belajar yang dimaksud?
Semua berusaha menejemahkan berdasarkan pemahaman masing-masing. Tidak sedikit
pula yang nyinyir dengan jargon merdeka belajar dengan menafsirkan bahwa
merdeka belajar adalah belajar “kumaha urang” (bagaimana saya). Bersamaan
dengan jargon merdeka belajar, Mas Menteri memperkenalkan kembali pemikiran Ki
Hadjar Dewantara dalam implementasi pendidikan.
Ada baiknya untuk memahami jargon
merdeka belajar, kita gali kembali pemikiran-pemikiran Ki Hadjar Dewantara dari
buku-buku karya Ki Hadjar yang sudah menjadi sejarah pemikiran pendidikan beliau.
Salah satu buku karangan beliau berjudul “Bagian Pertama Pendidikan”.
Buku terbitan tahun 1962 dicetak oleh percetakan Taman Siswa Jogjakarta, penulis
dapatkan buku ini di pasar loak salah satu sudut Kota Bandung. Membaca
pemikiran-pemikiran Ki Hadjar tentang pendidikan, penulis menemukan bahwa pemikir-pemikir
leluhur kita di bidang pendidikan tidak kalah dengan pemikir-pemikir dari
bangsa lain. Sudah saatnya kita tumbuh dewasa dengan percaya diri pada
pemikiran leluhur kita. Setiap bangsa memiliki karakter, budaya, sosial, politik,
agama dan kondisi alam berbeda-beda. Model pendidikan yang paling cocok untuk
bangsa Indonesia, pendidikan yang lahir dari kondisi lingkungan alam, sosial, budaya, di mana bangsa Indonesia tinggal.
Ki Hadjar berpendapat mendidik
anak adalah mendidik rakyat. Sistem pendidikan harus sesuai dengan hidup dan
penghidupan rakyat. Pengaruh pendidikan adalah memerdekakan lahir dan batin. Belajar
yang memerdekakan adalah gagasan Ki Hadjar untuk mendidik rakyat Indonesia. Kemerdekaan
lahir dan batin diartikan oleh Ki Hadjar adalah melahirkan manusia-manusia yang
tidak tergantung pada orang lain, dan harus bersandar pada kekuatan diri sendiri.
Pengajaran dan pendidikan yang berguna untuk penghidupan bersama ialah memerdekakan
manusia sebagai anggota persatuan bangsa. Dalam hidup merdeka seseorang harus
ingat bahwa anak-anak hidup bersama-sama dengan orang lain, dan menjadi bagian
dari persatuan manusia. Dalam pendidikan, kemerdekaan bersifat tiga macam, berdiri
sendiri, tidak tergantung kepada orang lain, dan dapat mengatur diri sendiri. (Ki Hadjar, 1962, hlm. 3-4).
Selanjutnya, prasyarat merdeka belajar menurut Ki Hadjar adalah “pendidikan harus terbebas dari bantuan yang mengikat, yang dapat menimbulkan hutang budi pada pemberi bantuan. Kondisi ini membahayakan bagi dunia pendidikan. Di peringatkan juga sudsidi pendidikan dari pemerintah dapat mengurangi kemerdekaan dalam pengajaran. Bantuan pendidikan harus bersifat sukarela dan tidak mengikat. Biaya pendidikan harus membiayai dirinya sendiri.” (Ki Hadjar, 1962, hlm. 4-5). Imam Ahmad mengatakan, “kebaikan orang baik itu mengikat karena kita punya kewajiban membalas kebaikan mereka”. Kewajiban membalas budi inilah bisa menjadi penghambat kemerdekaan pengajaran.
Gagasan Ki Hadjar menggambarkan kondisi
bantuan pendidikan saat ini. Bantuan-bantuan luar negeri untuk pendidikan tentu
memiliki syarat dan akan mengikat pada kemerdekaan pengajaran. Bantuan
pemerintah juga dapat mengurangi kemerdekaan belajar jika batasan-batasan aturan
dalam penggunaan anggaran sangat kaku. Dunia pengajaran bukan dunia baku dan
linier, karena yang dihadapi adalah anak-anak yang memiliki jiwa, dia hidup dan
sangat dinamis. Untuk mengajarknya dibutuhkan kecerdasan para pendidik untuk mengelola dan mengembangkan pengajaran kreatif, adaftif, dengan pendekatan multidimensi. Kesejahteraan
pendidik, sarana-prasarana, dan media pengajaran harus dibangun secara
berkesinambungan dan harus selalu menyesuaikan dengan perubahan zaman. Jika subsidi
pendidikan diberikan dengan batasan-batasan rigid, dan mengingat, maka pengajaran
akan kehilangan kemerdekaannya dan tidak mampu beradaftasi dengan perkembangan
zaman.
Selain itu, untuk mendukung merdeka
belajar, harus banyak tersedia badan-badan yang bisa menolong anak-anak
istimewa yang pantas ditolong. Anak-anak dari latar belakang ekonomi lemah
harus mendapat kemudahan untuk melanjutkan pendidikan kemanapun mereka mau. Dana-dana
pendidikan untuk golongan ekonomi lemah harus tersedia melimpah dan negara
harus bertindak.
Merdeka belajar yang dicanangkan
oleh Ki Hadjar tidak berarti bebas membabi buta. Pendidikan harus tetap mengacu
kepada kodrat yang bersumber pada adat istiadat. Kodrat lebih kuasa dalam
pengajaran. Contoh dalam pengajaran antara anak laki-laki dan perempuan.
Pendidikan yang sesuai dengan adat isitiadat (kodrat) harus mengajarkan etika, kesopanan,
pergaulan, antara laki-laki dan perempuan sebagaimana terjadi pada pendidikan
dalam lingkungan keluarga, terutama kepada mereka yang sudah menginjak masa birahinya
datang. Masa-masa birahi memuncak pada anak-anak terjadi pada usia 16-18 tahun
untuk perempuan, dan usia 18-25 untuk laki-laki. Namun demikian anak permpuan
dan laki-laki perlu bergaul dengan pengawasan agar mereka bisa terbiasa dalam
pergaulan dan bersaudara.