Friday, August 27, 2021

The End of Teacher

Oleh: Toto Suharya
(Kepala Sekolah, Sekretaris DPP AKSI)

Setelah ditemukannya internet dan akses internet mudah diakses dimanan mana, kapan saja, dan oleh lapisan masyarakat mana saja, maka inilah tanda-tanda bahwa keberadaan “guru” akan berakhir (the end of teacher). Bukan profesi gurunya yang akan berakhir tetapi sosok-sosok guru yang tidak berusaha membaca dan menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Guru-guru yang tidak berhasil membaca dan cepat beradaftasi dengan perubahan zaman seperti cerita tukang ojeg pangkalan, dan tragisnya para supir angkutan kota.

Sebagaimana hasil penelitian anak-anak (2020) terhadap penghasilan tukang ojeg pangkalan dibandingkan dengan tukang ojeg online, perbandingannya sudah mencapai 25:75 persen. Umpama, tukang ojeg panggalan penghasilannya 25 ribu rupiah perhari, tukang ojeg online 100 ribu rupiah perhari.  Namun demikian sekalipun faktanya demikian, tukang ojeg pangkalan tetap menjalaninya, dia tidak belajar dari perubahan zaman, dan cenderung menyerah pada keadaan. Dia tetap menunggu penumpang di pangkalan sekalipun peminatnya sudah banyak menghilang. Peminatnya hanya tinggal generasi old mind yang tidak bisa mengoperasikan layanan tranpsortasi online kerena gagap teknologi. Jumlahnya pun semakin sedikit dan sebentar lagi punah.

Demikian juga dengan supir angkot dijalanan, dari pengamatan sehari-hari ketika berangkat dan pulang kerja, angkot-angkot hilir mudik hanya mengangkut dua atau tiga orang penumpang, dan kadang-kadang kosong. Sambil mengendarai angkotnya pelan-pelan, nasib angkot seperti melihat binatang sekarat menunggu kematian. Diskusi dengan pemilik angkot penghasilan mereka turun hingga 75% per harinya. Biaya pemeliharaan, bahan bakar, tidak lagi bisa menutupi kebutuhan operasional kendaraan. Angkot seperti orang sakit parah yang tetap berusaha bertahan hidup dengan cara-cara pengobatan sederhana tanpa ada alternatif pengobatan dan pemanfaatan teknologi kesehatan.

Analogi kisah di atas, adalah gambaran dari “guru” yang tidak mampu beradaftasi dengan kemajuan zaman. Wawasannya terbatas karena tidak memiliki budaya literasi tinggi, mereka tetap bertahan dengan gaya mengajar zaman old mind, mengunakan buku paket, mengajar sebagaimana yang ada dalam buku paket, memberi tugas dan menguji dengan soal-soal tes low order thingking. Ujian hanya menguji ingatan dan pemahaman konsep-konsep yang tidak dibutuhkan peserta didik di lapangan. Hasil tes kemudian dirangking menjadi siswa bodoh dan pintar, jadi hasil dari pendidikan adalah peserta didik bodoh dan pintar. Gaya mengajar yang kaku dan membosankan, membuat peserta didik frustrasi dan mereka mempersepsi sekolah seperti penjara, atau penjajahan yang dilegalisasi atas nama pendidikan. Para pengusaha sukses yang kebetulan tidak berpendidikan tinggi, mereka mencela dunia pendidikan sebagai penyebab kemiskinan, karena peserta didik tidak diajari bagaimana menyelesaikan masalah-masalah yang ada dalam kehidupan sehari-hari.

Kondisi di atas adalah gambaran bahwa guru-guru” jika tidak adaftif akan terdisrupsi oleh perubahan zaman. Mereka akan hilang dari permukaan, namun mereka tidak sadar kenapa mereka diasingkan seperti kasus Hand Phone Nokia yang hilang dari pasaran, padahal mereka tidak melakukan kesalahan. Mereka tidak sadar bahwa era sekarang label guru yang harus digugu dan ditiru konteknya ada embel-embel yaitu dalam hal melakukan perubahan. Guru harus tetap menjadi sosok yang digugu dan ditiru namun dalam kontek membawa anak-anak untuk beradaftasi dengan perubahan zaman. Guru harus seperti mobil transformer yang bisa berubah-ubah menyesuaikan diri dengan keadaan.

Jika kita ikuti dari prasarana belajar yang digunakan, sosok guru terus mengalami evolusi sesuai dengan perubahan zaman. Pada awalnya guru tampil mengajar dengan kapur tulis. Guru “kapur tulis” pada tahun 2000 an,  seiring dengan perubahan zaman terdesak punah oleh keberadaan spidol white board dan over head proyektor (OHP). Guru spidol mengajarkan pengetahuan dengan mendemostrasikannya di papan tulis dan OHP. Dengan cepatnya perkembangan teknologi informasi, guru “spidol” terdesak lagi oleh kehadiran komputer dan proyektor. Guru “proyektor” menyajikan pembelajaran dengan membuat slide dan menampilkannya ke dalam proyektor di kelas-kelas. Kondisi pun berubah lagi, guru “proyekor” terdesak dengan kehadiran smartphone dan aplikasi-apikasi  pembelajaran.

Pandemi covid-19 awal tahun 2019 hingga sekarang, telah banyak menelan korban, demikian juga dalam dunia pendidikan. Pandemi Covid-19 telah menelan banyak korban guru-guru, diantaranya “guru” generasi kapur tulis, spidol, dan proyektor. Ketika pandemi Covid-19 guru kapur tulis, spidol, proyektor, yang dibatasi ruang kelas dan papan tulis, tak berkutik tidak bisa mengajar.  Guru-guru yang tidak bisa beradftasi dengan perkembangan teknologi informasi, tidak memiliki daya adaftasi tinggi, tidak kreatif, pada masa pandemi covid-19, mereka berstransformasi menjadi guru “whatsApp”. Pada masa pandemi pembelajaran diayani melalui chatting di wa grup. Pembelajaran dilakukan dengan gaya chating di wa grup, kadang di jawab kadang tidak. Peserta didik berkeluh kesah, sulit membangun komunikasi dengan guru. Pada akhirnya peserta didik merindukan tatap muka, bertemu dengan guru-gurunya lintas generasi.

Guru-guru dengan daya adaftasi tinggi, ketika masa pandemi covid-19 mereka tampil dengan berbagai perangkat teknologi informasi penunjang, WhatsApp, voice note, file pdf, video youtube, medsos, google meet, google sheet, zoom meet, dan flatform-flatform aplikasi penunjang pembelajaran dari berbagai produk dipelajari dan dikembangkan untuk memberikan alternatif layanan pendidikan pada peserta didik yang terkendala komunikasi karena pandemi covid-19. Guru-guru dengan multi tasking berubah wujud menjadi guru-guru berkarakter entrepreneur. Sementara guru-guru yang tidak adafif mengalami sekarat dan kematian (the end) akibat pandemi covid-19, di lain pihak guru-guru berkarakter entrepreneur tetap sehat dan semakin sejahtera hidupnya, melayani pendidikan anak-anak dengan energik, penuh semangat, dan optimis, melayani anak-anak dengan berusaha memberikan layanan pendidikan terbaik sekalipun pandemi Covid-19 melanda dunia. Wallahu'alam.


No comments:

Post a Comment

MENGAPA GURU HARUS TERHORMAT

Oleh: Dr. Toto Suharya, S.Pd., M.Pd. Untuk menghormati guru, di Jepang tidak ada hari guru. Kisah ini dibagikan oleh Pak Susila dari Banten ...