Oleh: Dr. Toto Suharya, S.Pd., M.Pd.
Menarik menyimak podcast Prof. Muhammad Syafi'i Antonio di channel @HelmyYahyaBicara, tentang kenapa muslim harus kaya? Salah satu jawabannya adalah kesalahan dalam memahami makna juhud. Kata juhud diartikan meninggalkan keduniawian, padahal kita hidup di dunia. Seseorang tidak bisa menghindari dunia. Ibu, Istri, anak, sekolah, adalah dunia. Dunia dicari dengan cara halal.
Menurut Prof. M. Syafi'i Antonia kaya itu wajib. Kayalah dengan sekaya-kayanya dengan tiga catatan. Satu, carilah kekayaan dengan cara halal. Ikuti aturan yang berlaku. Dua, tidak boleh sombong. Berjalanlah di muka bumi dengan rendah hati. Tiga, harus mau berbagi, di atas 2,5%, 5%, 10%.
Di mayoritas umat Islam ada pemahaman menjadi orang kaya kurang baik. Hal ini berangkat dari masalah intelektual atau filosofis. Juhud dipahami terlalu tekstual, sehingga pemahamannya menjadi sempit bahwa juhud artinya meninggalkan urusan dunia. Padahal setiap hari hidup kita berurusan dengan dunia.
Miskin bisa sangat berbahaya. Jika kita miskin ada ibadah-ibadah yang tidak bisa dilakukan orang miskin. Shalat masih bisa dilakukan orang miskin. Zakat, sedekah, wakaf, hibah, pelihara anak yatim, ibadah haji, tidak bisa dilakukan oleh orang miskin. Orang miskin ibadahnya menjadi terbatas.
Ada peran-peran Nabi Muhammad yang tidak dipelajari dengan serius. Dalam catatan sejarah Nabi Muhammad melakukan berbagai peran manusia dalam kehidupan dunia. Nabi menjadi pedagang, investor, kepala rumah tangga, guru, pendakwah, diplomat, politisi, dll. Peran nabi yang paling banyak di pahami adalah sebagai pendakwah. Peran-peran Nabi Muhammad dalam bidang lainnya kurang didalami.
Dalam sebuah ensiklopedi yang di susun Prof. M. Syafi'i Antonio, Rasul berdagang hampir 27 tahun hingga 29 tahun, jadi nabinya cuma 23 tahun. Berdasarkan fakta ini, disimpulkan bahwa ternyata kemandirian syarat utama untuk bicara bebas.
Betapa mulianya para pedagang, sampai-sampai ada hadis Nabi Muhammad yang mengatakan bahwa pedagang yang amanah bersama para nabi, para syuhada, dan para ulama. Masalahnya adalah, cara-cara Nabi berdagang, kurang dipelajari oleh umat Islam, karena lebih banyak mempelajari bagian dakwahnya.
Pemikiran-pemikiran yang disampaikan Prof. M. Syafi'a Antonio cukup menggugah umat Islam untuk refleksi diri. Penulis akui, pemahaman agama yang beredar terlalu fokus pada pendapat-pendapat dari pemikir-pemikir tasawuf yang mengajarkan umat beragama untuk meninggalkan hal-hal duniawi. Maka dari itu, kegiatan ekonomi tidak begitu digeluti oleh penganut agama Islam.
Menurut pendekatan tasawuf, orang-orang suci menjauhkan diri dari kehidupan duniawi. Maka, orang-orang suci digambarkan dengan orang-orang miskin, hidup apa adanya. Pemahaman ini terus dinarasikan melalui pengajaran-pengajaran agama, dakwah-dakwah televisi, cerita rakyat, dongeng, film, peringatan hari besar agama, dll.
Para ulama tasawuf menafsirkan hadis-hadis Nabi Muhammad tentang kondisi miskin, yang hasilnya pemahaman tentang juhud adalah menjauhkan diri dari kehidupan dunia. Pada ujung hidupnya, Nabi Muhammad memang tidak meninggalkan istana, kerajaan, dan kekayaan. Tapi sejarah Nabi Muhammad sejak dari anak-anak hingga dewasa, Beliau dikisahkan bukan orang miskin.
Menurut Prof. M. Syafi'i Antonio, ada kisah dalam hadis, Nabi Muhammad bukan orang miskin, tetapi seluruh hartanya dihabiskan untuk sedekah.Saya sepakat dengan Prof. M. Syafi'i Antonio bahwa umat Islam menghadapi masalah intelektual, sosial, emosi, dan spiritual. Perlu refleksi dan keterbukaan umat Islam untuk membuka diri terhadap pandangan-pandangan berbeda agar umat Islam bisa hidup sejahtera di dunia dan akhirat sebagai Al Quran mengabarkan.
Ruang-ruang diskusi harus terus dibuka. Ruang diskusi dikemas tanpa menghakimi karena merasa menjadi pemilik kebenaran. Siapapun yang menafsirkan Al Quran dan Hadis, mereka tidak dijamin 100% benar karena keberanan milik Allah. Hikmah ilmu dari Allah sangat luas, sekalipun laut jadi tinta, maka tinta itu akan habis sebelum habis hikmah-hikmah dari Allah ditulis.
Katakanlah: "Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula). (Al Kahfi, 18:109).***