Saturday, October 24, 2020

WELLBEING STUDENT

 Oleh: Toto Suharya

(Kepala Sekolah, Sekretaris I DPP AKSI, KACI)

Sekolah harus menjadi tempat yang paling membahagiakan bagi anak-anak. Sekolah harus menjadi tempat yang menjanjikan kesejahteraan bagi anak-anak. Mereka yang masuk sekolah harus punya keyakinan bahwa dengan masuk sekolah mereka bisa hidup lebih sejahtera. Dengan keyakinan ini anak-anak akan merasa wellbeing (bahagia) dalam melaksanakan seluruh aktivitas belajar di sekolah. Untuk mewujudkannya, Syawal Gultom menjelaskan masalah dan apa yang harus dilakukan oleh sekolah.

Wellbeing Student ditandai dengan sikap positivity (selalu positif, good mood) ditandi dengan prilaku positif dan berbicara positif, resilience, self-optimissation, and satisfaction. (Nobel dan McGrath, dalam Aris dan Djamhur, 2017, hlm. 769).  Sikap positif tercermin dalam hubungan sosial dengan semua kalangan antara lain guru, teman sebaya, komunitas dan lingkungan keluarga. Resilience adalah kemampuan siswa dalam menghadapi kesulitan dan mengembalikan kondisi menjadi positif berkelanjutan. Self-optimisation adalah kepercayaan diri yang dimiliki anak terhadap kemampuan dirinya ditandai dengan kepemilikan growt mindset. Satisfaction berkaitan dengan kepuasaan anak terhadap proses pembelajaran yang dirasanya bermanfaat dan relevan dengan kebutuhan untuk menjalani hidup di masyarakat.   

Pertama anak-anak harus diajari untuk punya kemandirian, selalu berpikir positif, tidak pernah mencurigai orang lain. Anak-anak diajari jangan pernah bersikap negatif pada orang. Untuk mengajarkannya harus didukung oleh kepala sekolah yang harus paham pendidikan Indonesia. Paham tentang keprofesionalan guru. Paham kondisi pembelajaran dan paham kondisi lulusan pendidikan indonesia.

Selanjutnya menurut Gultom, kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh level berpikir generasinya. Pembelajaran di kelas harus mengajarkan kemampuan berpikir tinggkat tinggi, kepedulian, dan mampu menyelesaikan masalah yang ada pada diri dan lingkungannya. Sebagai contoh pada masa pandemi Covid-19 anak-anak harus diajak beradaftasi dengan pradigma baru tentang kesehatan. Masa covid 19 telah merubah cara hidup sehat bukan dengan obat-obatan. Kesehatan adalah mempertahankan daya tahan tubuh secara alami dengan membiasakan prilaku dan pola hidup sehat, dan masa obat-obatan sudah berlalu.

Hal seperti di atas bisa diajarkan oleh sekolah yang dimpimpin kepala sekolah yang mengajarkan keteladanan tentang personal value, leading teaching, leading innovation and change, and leading the management of school. Kepala sekolah harus bisa meyakinan bahwa orang datang ke sekolah untuk jadi pembelajaran yang sukses. Kepala sekolah harus menjamin ketersediaan guru yang tangguh yaitu guru dengan jiwa pembelajar. Guru yang tangguh memiliki komitmen pada nilai hidup bahwa setinggi-tinggi derajat manusia adalah mereka yang memiliki kontribusi kepada orang dan alam. Guru yang memesona adalah guru yang sepenuh jiwa mengabdikan dirinya untuk melayani dan mengembangkan seluruh potensi anak-anak.  

Pendidikan juga harus relevan ketika berbicara soal kesejahteraan. Jumlah 24,9 juta orang miskin di indonesia sangat tidak mungkin terjadi jika dibandingkan dengan sumberdaya alam yang dimiliki bangsa Indonesia. Masyarakat miskin mereka berpenghasilan Rp. 15.000 per hari. Padahal seluruh jenis kekayaan alam yang ada di muka bumi semuanya ada di Indonesia.  

Kita perlu melakukan lompatan besar dalam mengelola pendidikan. Pendidikan adalah hidup itu sendiri (John Dewey). Kita harus akui bahwa selama ini guru-guru kita tidak memiliki kepatuhan pada jadwal belajar karena hadir ke kelas terlambat. Jika hadir tepat waktu kita belum mengajarkan materi yang relevan dibutuhkan anak-anak. Kita juga masih bermasalah dalam hal pendalaman materi dan guru belum sepenuh hati menjadi pengajar.

Konsep pendidikan di negara lain dengan negara kita tidak jauh berbeda. Masalahnya adalah kejujuran kita sebagai guru perlu ditingkatkan. Di Finlandia, guru diberi tujuan negara. Guru bisa mewujudkannya di kelas. Kita kadang-kadang mengajarkan sesuatu yang tidak sebagaimana ditugaskan oleh negara. Di jepang, RPP sudah ada di hati, pikiran, dan tindakan guru. Kita masih berkutat dengan RPP dalam bentuk adminsitrasi fisik.

Tentang kompetensi berpikir tingkat tinggi, Gultom mengatakan 70% guru kita telah mengetahuinya, namun yang paham hanya 40%, yang menerapkan 20% dan guru yang mengajarkan berpikir tingkat tinggi kepada anak-anak hanya 5%. Dari skala 0-10, guru-guru yang mengajarkan kreativitas kepada anak-anak, guru-guru kita hanya ada di skala 2,87. Dalam kondisi ini anak-anak tidak diajari berpikir sampai pada level 6 (create).

Selanjutnya Gultom mebeberkan fakta, sejak 2005 hasil program sertifikasi  hanya 10 persen guru yang berubah prilaku kerjanya. Sertifikasi guru belum menemukan inti tujuan sertifikasi. Ternyata yang hebat pendidikan itu soal kejujuran. Konsep kita tidak kalah baik dengan negara lain. Kejujuran diawali dari guru yang harus mau melakukan perubahan ke arah wellbeing hingga membudaya di sekolah. Perubahan mulai dari persepsi cara berpikir positif dan prilaku dari seorang guru. Guru yang terbaik yang punya tanggung jawab untuk berubah. Darwin mengatakan manusia terbaik adalah mereka yang mampu beradftasi dengan lingkungan.

Pendidikan kita butuh kepala sekolah, guru, pengawas, dan kepala dinas yang wellbeing dalam melaksanakan tugas. Sehingga lingkungan pendidikan menjadi lingkungan yang menjanjikan kebahagiaan dan memberdayakan.  Wallahu’alam. 

No comments:

Post a Comment

KURANGI LOMBA-LOMBA DI DUNIA PENDIDIKAN

Oleh: Dr. Toto Suharya, S.Pd., M.Pd. Menyimak perubahan paradigma pendidikan abad 21, arahnya sudah bergeser. Lomba-lomba yang diadakan di l...