Tuesday, June 4, 2019

DARURAT PENDIDIKAN


OLEH: TOTO SUHARYA

Miris membaca fakta pendidikan dalam artikel Prof. Syamsul Rizal (Kompas/28/9/2018), “75% mahasiswa baru di suatu universitas, uji kemampuan berhitungnya tidak mempunyai kompetensi lulus SD, dan 95 persen mahasiswa tidak mempunyai kompetensi untuk lulus SMP. Fakta ini jangan dianggap remeh, karena akan mengancam generasi kita di masa mendatang, karena lulusan sarjana ini kemungkinan akan ada yang menjadi pendidik, dan ini ancaman bagi generasi kita di masa mendatang.

Selain itu dalam surat kabar yang sama tersaji data Badan Pusat Statistik bulan Februari 2018, membeberkan bahwa pengangguran terbuka di Indonesia berjumlah 6,87 juta penduduk. Dari jumlah itu, 8,92 persen lulusan SMK, 7,92 persen lulusan diploma, 7,19 persen lulusan SMA, 6,31 persen lulusan universitas, 5,18 persen lulusan SMP, dan 2,67 persen lulusan SD. Data ini sedang mempertanyakan kualitas pendidikan yang masih belum berhasil mengantarkan masyarakat hidup sejahtera.

Selain itu, hasil pendidikan kita mendapat keluhan dari para pengusaha. Sebanyak 460 perusahaan di Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan di survey. Hasilnya sebagian besar menyatakan rendahnya soft skill para karyawan. Berikut datanya, 92 persen pimpinan perusahaan menyatakan karyawannya sangat lemah dalam membaca; 90 persen menyatakan lemah dalam menulis, 84% lemah dalam etos kerja; 83% lemah dalam kemampuan komunikasi, dan 82% lemah dalam kerja tim. (Suara Hidayatullah, edisi Maret 2018).

ARTIKEL TELAH DIMUAT DI FORUM GURU PIKIRAN RAKYAT
Keluhan yang sama pernah saya dengar langsung dari laporan pimpinan dinas pendidikan wilayah, yang kedatangan para pengusaha lokal ke kantornya. Para pengusaha lokal tersebut dengan sedikit berkelakar bertanya, “apa yang dilakukan dunia pendidikan selama ini?”. Laporan dari para pengusaha lokal, anak-anak lulusan SMA/SMK yang datang melamar ke perusahaannya, memiliki kemampuan yang lemah dalam hal berkomunikasi. Hal ini terungkap ketika wawancara, anak-anak lebih banyak diam, dan tidak bisa menjawab hanya sekedar mengemukakan motivasi dan tujuan mereka masuk ke dunia kerja.

Fenomena ini menjadi jawaban bahwa pendidikan kita saat ini sedang mengalami krisis, diawali dari krisis tenaga kependidikan. Kunci kualitas pendidikan yang utama adalah tenaga kependidikan. Sementara ini, kebutuhan tenaga kependidikan tidak merata di setiap sekolah. Tenaga-tenaga pendidik tidak tetap yang jumlahnya hampir sama dengan tenaga pendidik tetap, masih mengalami masalah kesejahteraan dan kurang mendapat perhatian dalam layanan peningkatan kualitas profesi. Tenaga pendidik tidak tetap masih rentan terhadap perlakuan diskriminatif dari mulai tingkat sekolah sampai tingkat kedinasan. Pelatihan-pelatihan bidang profesi banyak melibatkan tenaga pendidik tetap, dan kecil sekali melibatkan pendidik tidak tetap.

Program-program pemerintah yang harus diperkuat untuk mengantisifasi darurat pendidikan kita adalah memberikan pemerataan fasilitas ke sekolah-sekolah negeri terlebih dahulu, dan melakukan inventarirasi kebutuhan tenaga pendidik sesuai latar belakang pendidikan. Data tersebut kemudian harus jadi data kebutuhan pendidik di lapangan, dan menentukan pembatasan dibukanya jurusan di perguruan tinggi agar universitas tidak terus memproduksi tenaga kependidikan yang jumlahnya sudah melebihi kebutuhan. Faktor ini menjadi penyebab terjadinya malapraktik pendidikan karena mata pelajaran tidak diajarkan oleh pendidik yang berlatarbelakang sesuai dengan mata pelajarannya.

Inilah faktor darurat yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah dengan serius. Sekalipun bangunan sekolah mau runtuh, jika tenaga pendidik masih tersedia, pembelajaran masih bisa tetap berlanjut. Seyogyanya perhatian terhadap peningkatan profesionalisme tenaga pendidik tidak boleh mengalami pasang surut, karena tenaga pendidik pofesional adalah ruhnya pendidikan. Wallahu ‘alam.

(Penulis Kepala SMAN 1 Cipeundeuy KBB, Pengurus PGRI Kab. Cianjur)

SELAMAT TINGGAL SKOR UJIAN

OLEH: TOTO SUHARYA

Saat ini masih banyak orang berpandangan, ukuran sekolah bagus masih dilihat dari berapa lulusan dengan skor tinggi dan  melanjutkan ke perguruan tinggi terbaik. Padahal setiap tahun hanya sebagian kecil anak-anak yang diterima di perguruan tinggi terbaik.

Sebagian besar lulusan sekolah menengah kita, tidak diterima di perguruan tinggi terbaik. Hanya beberapa lulusan yang punya kecerdasan intelektual standar, dan memiliki biaya, mereka melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi biasa-biasa.

Sedangkan jumlah terbesar lulusan sekolah menengah kita, mereka terjun langsung ke lapangan menjadi tulang punggung ekonomi negara. Mereka langsung berjuang untuk menjadi manusia-manusia mandiri dengan bekerja, atau berbisnis dengan cara-cara yang sedikit mereka ketahui. Sebagian lagi menjadi penganggur berijazah sekolah menengah, dan paling banyak dari lulusan sekolah kejuruan.

Bagi lulusan yang langsung terjun ke dunia kerja dan usaha, skor ujian tidak lagi jadi perhitungan. Hal yang jadi perhitungan pada saat masuk dunia kerja dan usaha adalah kreativitas, keterampilan membaca peluang, daya tahan dalam penderitaan (sabar), kejujuran, ketekunan, disiplin, dan optimisme.


Menurut Mc Clelland, dikutif Thomas J. Stanley (2015), “nilai ujian tinggi hanya dapat meramalkan prestasi di sekolah, dan tidak meramalkan sukses dalam hal prilaku dan hasil lainya. Kondisi ini menandakan bahwa sudah saatnya kita merubah cara pandang pendidikan kita, berburu skor ujian adalah model pendidikan usang dan sudah tidak jadi tendensi lagi dia abad 21.

Kondisi ini sudah dipahami oleh negara-negara maju, seperti tetangga kita. Kondisi ini kita tangkap dari dialog menteri pendidikan Singapura ketika berkunjung ke Amerika. Orang Amerika bertanya kepada menteri pendidikan Singapura, “apa yang anda cari di sini, kaum muda anda sudah mendapat skor tertinggi dalam setiap uji prestasi standar internasional?”  Menteri pendidikan menjawab, “satu-satunya hal yang bisa dilakukan kaum muda kami adalah menempuh ujian”. (Stanley, 2015:80).

Dialog di atas mengindikasikan kegelisahan menteri pendidikan Singapura terhadap generasi penerusnya. Menteri Pendidikan Singapura, seolah-solah telah menyadari bahwa dunia pendidikan harus segera berubah haluan, karena abad sudah berpindah, dan cara hidup masyarakat sudah berubah.

Jika pendidikan kita masih mempertahankan ukuran skor ujian sebagai kualitas manusia terbaik, kita telah mengorbankan generasi-generasi kita yang kreatif, jujur, dan pekerja keras. Pendidikan kita telah mengabaikan perhatian dari jumlah penduduk potensial kita yang jumlahnya sangat banyak.

Secara konstitusional arah pendidikan kita sudah berubah haluan, dengan menjadikan pendidikan karakter sebagai tendensi pendidikan abad 21. Namun selalu kalah dengan persepsi masyarakat yang masih belum berubah. Ujian-ujian masuk perguruan tinggi, pemerintahan, militer, perusahaan, masih berkutat mempermasalahkan nilai skor ujian.

Belum ada sistem rekruitmen yang mengendepankan pada pendidikan karakter yang sudah digarap di sekolah-sekolah menengah. Pada kenyataannya dari hasil penelitian Stanley, mereka yang menduduki skor tinggi dengan yang rendah, pada akhirnya keadaan ekonomi mereka sama-sama baik. Bahkan para miliarder dunia, terlahir dari mereka yang skor ujiannya tidak tergolong tinggi. Padahal para miliarderlah yang berhasil mengubah keadaan ekonomi dunia saat ini. Masihkan kita percaya pada ujian skor tinggi? Sedangkan abad sudah berpindah, dan dunia sudah berubah.


Kepala SMAN 1 Cipeundeuy Bandung Barat

Sunday, June 2, 2019

ENTREPRENEUR KOMPETENSI ABAD KE-21

 OLEH: TOTO SUHARYA

 “Setiap orang adalah entrepreneur”, demikian menurut Rhenald Kasali (2018). Penulis sependapat pada dasarnya manusia adalah seorang entrepreneur, karena setiap orang selalu berpikir, mengambil keputusan dan berusaha bertahan hidup. Sekecil apapun kita selalu ingin menyelesaikan masalah, karena itu naluri manusia. Entrepreneur secara etimologi adalah melakukan.

 Kemampuan literasi menunjukkan derajat kualitas entrepreneurship seseorang. (Johnson, dkk. 2015, hlm. 10). Berpikir, mengambil keputusan, bertahan hidup, dan menyelesaikan masalah tidak mungkin dilakukan tanpa pengetahuan.  Semakin luas pengetahuan semakin tinggi kemampuan entrepreneur seseorang. Maka sudah pasti, seorang entrepreneur adalah seorang pembelajaran. 

Praktek pendidikan entrepreneur di dunia pendidikan masih sangat terbatas. Program pendidikan entrepreneur yang digagas tiap tahun oleh Kemdikbud  sangat tepat untuk dikembangkan lebih luas dan merata. Dari penjelasan Direktorat PSMA Kemdikbud, peserta lomba kewirausahaan tahun 2018 peserta terbanyak diduduki  oleh Yogyakarta (175), Aceh (104), Jawa Timur (92), Jawa Tengah (65), Bali (57), Bengkulu (55), Jawa Barat (41), Banten (40), Sulawesi Selatan (25), dan Kalimantan Barat (19). Jawa Barat dengan jumlah sekolah terbilang sangat banyak masih perlu kerja keras untuk mensosialisasikan program entrepreneur ke setiap sekolah. 

ARTIKEL TELAH DITERBITKAN PADA KORAN PIKIRAN RAKYAT RUBRIK FORUM GURU SENIN 20 MEI 2019
Secara umum konsep entrepreneur selalu dikaitkan dengan aktivitas ekonomi, dan lebih spesifik kepada aktivitas dagang (jual beli). Namun, jika dikaji secara fiosofis, seluruh aktivitas manusia adalah perdagangan, dalam arti untuk mendapatkan segala sesuatu manusia harus mengeluarkan. Di sekolah, rumah, kantor, jalan, semua didasari aktivitas dagang. Semua benda atau jasa yang kita dapatkan didapat melalui perdagangan. Untuk itulah kompetensi entrepreneur wajib dipahami dan diajarkan kepada setiap peserta didik. 

Ditinjau dari sudut pandang agama, hidup adalah perniagaan/perdagangan (tijaroh). Allah berfirman, “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Al-Baqarah, 2:275). Maka dijadikannya jual beli halal karena aktivitas jual beli (saling memberi) adalah aktivitas terpuji yang tidak merendahkan harkat manusia. Manusia-manusia berkualitas tinggi, adalah manusia yang dapat memberi kehidupan kepada banyak manusia. 

Menurut Baladina (2012, hlm.123), Geertz dalam penelitiannya menemukan bahwa kaum santri (kelompok taat beragama) memiliki etos kerja dan etos wirausaha (entrepreneurship) lebih tinggi dibanding kelompok lain.  Mengapa jiwa entrepreneur dimiliki kaum taat beragama, hal ini dapat dipahami jika merujuk pada hadis Nabi yang mendorong pengembangan semangat entrepreneurship antar lain, ”Hendaklah kamu berdagang, karena di dalamnya terdapat 90 persen pintu rezeki” (HR Ahmad). ”Sesungguhnya sebaik-baik mata pencaharian adalah seorang pedagang (entrepreneur)” (HR Baihaqy).  

Syahrial (dalam Baladina, 2012, hlm.128) menjelaskan dalam kitab musnad Imam Ahmad juz 4 dan “The History of  Islam” diceritakan bahwa Muhammad baru berusia dua belas tahun ketika pergi ke Syria berdagang bersama Abu Thalib, pamannya. Ketika pamannya meninggal dunia, beliau tumbuh dan berkembang menjadi seorang entrepreneur yang mandiri, melakukan perdagangan keliling di kota Makkah dengan rajin, penuh dedikasi pada usahanya.  

Ciri paling mendasar manusia sebagai makhluk entrepreneur adalah aktivitas berpikir. Hamka (2018, hlm. 81) berpendapat,  “agama bukan filsafat! Tetapi dengan merenungi filsafat, orang dapat bertambah iman dalam agama. Dalam hadis riwayat Anas, pernah dipuji-puji seorang sahabat dekat Rasulullah, dipuji ibadahnya, dipuji perangainya, dipuji keimanannya, adabnya, dan kesopanannya. Tetapi Rasulullah tiada memperdulikan pujian tersebut, hanya beliau bertanya, “bagimanakah akalnya? Nabi Muhammad bersabda, “sesungguhnya orang yang bodoh tetapi rajin beribadah telah tertimpa bahaya lataran kebodohannya, lebih besar dari ada bahaya yang menimpa lantaran kejahatan orang yang durjana. Yang mengangkat manusia kepada derajat dekat kepada Tuhan ialah menurut kadar akal mereka jua”. 

Dengan semangat mengabdi kepada Tuhan YME, entrepreneur tidak pernah malas bekerja untuk membantu sesama. Para entrepreneur selalu berpikir do the best, well done! Entrepereneur adalah kompetensi abad 21 yang harus dimiliki anak-anak Indoensia untuk menuju Indonesia emas 2045. Wallahu ‘alam. 

(Penulis Kepala SMAN 1 Cipeundeuy KBB)

AKTUALISASI DIRI


OLEH: TOTO SUHARYA

Dari pandangan kelompok Humanis, diwakili oleh Maslow (1954), “pada prinsipnya setiap bayi yang lahir terdapat kemampuan aktif ke arah pertumbuhan aktualisasi potensi-potensi manusia. (Supardan, 2015, hlm. 219). Atas dasar teori ini, tugas pendidikan memfasilitasi anak-anak agar bisa beraktualisasi diri dengan potensi-potensi yang dimilikinya sejak lahir.

Potensi-potensi yang ada pada anak, oleh Gardner diidentifikasi menjadi delapan kecerdasan yaitu logika, kinestetik, linguistik, musik, interpersonal, antarpersonal, visual-spasial, dan natural. Aktualisasi diri menurut Schunk (2012), “setelah memenuhi kebutuhan makan, minum, rasa aman, dan kebersamaan, sampailah pada puncak yaitu keyakinan terhadap diri dan orang lain, berwujud dalam prestasi, kemandirian, professional, dan pengakuan dari orang lain”.  (Supardan, 2015, hlm. 220).

Mengacu pada penelitian Danah Zohar dan Ian Marshal, kecerdasan manusia ditambah satu yaitu kecerdasan spiritual. Kecerdasan ini ada karena kecenderungan manusia mencari makna hidup dari yang transenden (Tuhan). Penulis mengatatakan kecerdasan ini berkaitan dengan pemahaman manusia tentang segala kejadian dihubungkan dengan eksistensi Tuhan.

Tugas sekolah menumbuhkan sembilan kecerdasan yang ada pada anak-anak dengan berbagai macam cara agar mereka bisa beraktualisasi diri. Menurut Goble, (1970), “kebanyakan manusia hanya mampu memenuhi kebutuhan makan, minum, dan rasa aman, hanya 1% manusia yang betul-betul mencapai kebutuhan aktualisasi dirinya”. Jika demikian, pendidikan selama ini hanya melahirkan manusia-manusia rakus yang tidak pernah puas makan, minum dan merasa aman untuk dirinya.


Kebutuhan dasar manusia adalah beraktualisasi diri, diawali dengan kesadaran untuk hidup bersama, dengan melakukan tindakan-tindakan yang dilandasi keyakinan bahwa dirinya harus bermanfaat bagi dirinya dan orang lain sebagai bentuk ketaatan kepada Tuhan. Kebutuhan aktualisasi diri manusia yang harus selalu difasilitasi adalah bertindak atas dasar keyakinan pada Tuhan, memanfaatkan harta  yang dimiliki sekecil apapun untuk kesejahteraan manusia dan alam.  Dalam ajaran agama aktualisasi diri manusia dibingkai dalam empat konsep yaitu shalat-sabar, sedekah-ikhlas.

Agar bisa memenuhi semua kebutuhan dasarnya, manusia bukan dilatih untuk bisa makan dan minum, tetapi difasilitasi untuk beraktualisasi diri.  Di bulan Ramadhan ini, Allah tidak memerintahkan manusia menerima zakat, tetapi membayar zakat. Semua yang diajarkan Tuhan memfasilitasi manusia untuk selalu beraktualisasi diri. Ramadhan adalah bulan pendidikan yang memfasilitasi manusia berpuasa sebagai pendidikan agar kita beraktualisasi diri. Ini makna mengapa bulan Ramadhan dapat dikatakan sebagai bulan pendidikan. Wallahu alam.

(Penulis Kepala SMAN 1 Cipeundeuy KBB).

Tuesday, May 14, 2019

GURU YANG BAIK

OLEH: TOTO SUHARYA

Tidak ada anak bodoh kecuali dia tidak belajar dengan guru yang baik. (Yohanes Surya). Mohon dipahami para stake holder pendidikan, pernyataan di atas sesuai hadis, bahwa akhlak anak sangat tergantung ibu bapaknya.

Dengan demikian tidak ada anak cerdas, yang cerdas gurunya. Tidak ada anak bodoh yang bodoh gurunya.

Jika nilai UN anak anak tinggi, bukan anaknya yang cerdas tapi gurunya. Sekolah sekolah yang berhasil melahirkan juara, bukan anak anaknya yang cerdas tapi guru gurunya.

Hukum dalam pendidikan, keberhasilan dan kesuksesan anak, adalah keberhasilan dan kesuksesan guru. Tidak ada sekolah baik tanpa guru yang baik.

SATU GURU YANG BAIK AKAN MEMBAWA NAMA BAIK SEKOLAH, 1000 ANAK CERDAS TANPA GURU YANG BAIK AKAN MEMBAWA NAMA BURUK SEKOLAH (TOTO SUHARYA)

Kemutlaklaan hukum ini tidak akan pernah berubah sampai kapanpun. Maka jika semua stake holder peduli dan ingin memperbaiki pendidikan kosen, konsisten, perhatikan kualitas guru, dan perhatikan kesejahteraan guru.

Masalah pendidikan mendasar mutlak ada di guru yang baik. Mengabaikan kehadiran guru yang baik, adalah keterkutukkan sebuah  bangsa yang tidak memahami hukum dalam pendidikan.

Tugas semua stake holder pendidikan dalam memperbaiki  dan menjaga kualitas pendidikan adalah menjaga stok ketersediaan guru yang baik. Selanjutnya mengatur penyebarannya agar merata ke seluruh pelosok. Satu guru yang baik akan membawa nama baik sekolah, 1000 anak cerdas tanpa guru yang baik akan membawa nama buruk sekolah. Wallahu 'alam.

(Head Master Trainer)

Saturday, May 4, 2019

PENDIDIKAN MANUSIA

Oleh: Toto Suharya

Apa beda ilmu pengetahuan jika merujuk kitab suci dan tidak? Jawabannya, ada perbedaan konsep. Mari kita buktikan.

Manusia berdasarkan kitab suci Al-Quran ada tiga konsep, yaitu basyar, insan dan annas. Tiga konsep manusia ini dibedakan berdasarkan bagaimana Allah menciptakan manusia dari bahan berbeda-beda dilengkapi dengan ciri-cirinya.

Konsep manusia tertinggi adalah basyar, yaitu manusia pengabdi kepada Tuhan. Contohnya Nabi Muhammad dan golongan para Nabi. Manusia pengabdi kepada Tuhan, dia memenuhi kebutuhan hidupnya secara pribadi dan saling membantu antar sesama makhluk Tuhan, berdasarkan atas perintah dari Tuhan.

Dalam konsep sekular, manusia memiliki dua konsep yaitu human, dan human being. Human is refers to the biological characteristics. Human being, talking about person ability to think, feel, and be social.

Jadi berdasar konsep sekular ada satu konsep manusia yang hilang yaitu makhluk spiritual. Inti pendidikan sekular, tidak mengenalkan manusia pada Tuhan, hanya mengajari urusan manusia dengan ciri-ciri binatang, individu dan makhluk sosial. AKHIR TUJUAN pendidikannya adalah manusia cerdas berjiwa sosial yang masih terikat, terbatas oleh imbalan material. 


Pendidikan kita tidak sekular, cirinya masuk kompetensi spiritual dalam kurikulum 2013. Tujuan akhir pendidikan kita adalah menciptakan manusia-manusia basyariah. Manusia yang  berbuat baik untuk memenuhi kesenangan dirinya dan orang lain atas dasar ketaatan pada aturan yang telah ditetapkan Tuhan YME. Hasil pendidikannya adalah manusia manusia bermental khalifah, hidup cukup untuk dirinya dan mewah untuk membantu sesama, bersabar dan tidak terikat imbalan material. Segala kebaikannya ditujukan untuk mendapat imbalan lahir dan batin dari Tuhan YME sampai akhirat.

Maka, pendidikan dengan pendekatan sekular belum memanusiakan manusia karena baru sampai pada tahap memanusiakan manusia dari kelas binatang menjadi makhluk cerdas berjiwa sosial, tidak sampai tahap manusia spiritual. Manusia sekular, dia cerdas dan berjiwa sosial tetapi masih terikat material, sedang manusia spiritual dia cerdas dan berjiwa sosial tetapi tidak terikat oleh material karena tujuannya adalah kembali kepada Tuhan. Wallahu 'alam.

(Head Master Trainer)

Friday, April 12, 2019

INTELEGENSI SPIRITUAL

Oleh: Muhammad Plato

Nataatmadja (2001, hlm. xxxiv) mengemukakan pada abad millenium ke tiga, lambat laun kita akan berhijrah dari intelegensi artifisial (rasional empiris) ke intelegensi spiritual. Sebagaimana Bertrand Russell berpendapat, “manusia paling rasional itu adalah manusia di daerah tropis, yang dengan sabar duduk di bawah pohon pisang menunggu buah jatuh ke mulutnya”.

Apakah yang dimaksud dengan Intelegensi spiritual? Kemampuan berpikir sesuai dengan petunjuk Tuhan YME. Intelegensi Spiritual adalah kemampuan berpikir yang bersumber pada pengetahuan dan logika sebab akibat dari kitab suci Al-Qur’an.

Prof. Fahmi Basya (2015) adalah salah satu ilmuwan (ulama) yang berhasil mengembangkan intelegensi spiritual dari Al-Qur’an dan mengajarkannya kepada mahasiswa dalam mata pelajaran matematika Islam dan diakui sebagai mata pelajaran internasional . Transformasi 19 adalah logika matematika spiritual yang rumit, ditemukan dalam konstruksi logika Al-Qur’an. Suharya (2017), memperkenalkan intelegensi spiritual dalam pola pikir sehari-hari di buku Sukses dengan Logika Tuhan. Digunakan sebagai bahan pendidikan karakter religius di sekolah.

Diperkenalkannya kembali Intelgensi Spiritual adalah awal kebangkitan manusia millennium ketiga. Gambaran Russell tentang manusia sabar menunggu buah jatuh ke mulut adalah rasionalitas yang sumbernya bukan pada intelegensi artifisial (alam), tetapi rasionalitas intelegensi spiritual.


Dalam sejarah, siapakah manusia-manusia yang hidup dengan intelegensi spiritual? Mereka adalah manusia biasa (basyar), tetapi pola berpikirnya mengikuti petunjuk wahyu dari Tuhan YME. Salah satunya dan yang terakhir adalah Nabi Muhammad saw.

Bisakah intelegensi spiritual diajarkan di sekolah? Bukan hanya bisa, tetapi harus. Intelegensi Spiritual adalah pembentuk karakter-karakter tangguh, optimis, pantang mengeluh, tidak suka menyalahkan orang lain, cerdas, cinta damai dan berani berkorban. Karakter ini dapat dibentuk dengan mengajarkan Intelegensi Spiritual, Matematika Islam atau Logika Tuhan kepada siswa. Wallahu’alam.  

(Penulis Head Master Trainer)

KAYA ITU WAJIB?

Oleh: Dr. Toto Suharya, S.Pd., M.Pd. Menarik menyimak podcast Prof. Muhammad Syafi'i Antonio di channel @HelmyYahyaBicara, tentang kenap...