OLEH: TOTO SUHARYA
Bagi orang dewasa hidup adalah
beban. “Rata-rata anak-anak berusia 6 tahun tertawa 300 kali setiap harinya,
dan orang dewasa rata-rata 17 kali”. (Stoltz, 2005, hlm. 58). Anak-anak lebih
mudah damai jika berkelahi, sebaliknya orang dewasa lebih sulit. Untuk itu,
orang dewasa butuh banyak pengetahuan agar bisa lebih sabar dalam hidup.
“Dan bagaimana kamu dapat SABAR
atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai
PENGETAHUAN yang cukup tentang hal itu?" (Al Kahfi, 18:68). Kompetensi
sabar memiliki hubungan dengan pengetahuan. Dalam teori multiple intelegent, kompetensi sabar termasuk pada kecerdasan
interpersonal. “Semakin banyak perbendaharaan pengetahuan seseorang, semakin
baik kualitas kesabarannya”. (Plato, 2019).
Sikap tidak sabar dibentuk oleh
persepsi negatif. Anak-anak di rumah bisa sabar, berhenti menangis, jika orang
tuanya menjanjikan reward yang jadi
harapan anak. Reward telah mengubah
persepsi anak menjadi positif dan punya harapan.
KOMPETENSI SABAR BISA DILATIH DENGAN LATIHAN BERPIKIR POSITIF DARI KEJADIAN NEGATIF |
Pendidikan adalah melatih
anak-anak berpikir positif agar menjadi pribadi
sabar. Dalam pembelajaran anak-anak harus dilatih membangun perspesi
positif dari kejadian-kejadian negatif. Latihan ini harus berulang-ulang oleh
seluruh guru mata pelajaran di sekolah.
Melakukan latihan persepsi
positif terhadap hal-hal negatif, akan melatih otak menjadi kreatif dan
inovatif. Selain itu, melatih otak anak-anak
berpikir dengan higher order thingking.
Respon anak-anak terhadap hal
negatif, dibentuk lewat pengaruh-pengaruh orang tua, guru, teman sebaya, dan
orang-orang yang memiliki peran penting selama masa kanak-kanak. (Stlotz, 2005,
hlm. 47). Di lingkugan pendidikan, guru adalah ujung tombak pendidikan, melatih
anak-anak agar memiliki kemampuan berpikir positif dan optimis. Hal penting
lainya guru harus menanamkan keyakinan kepada anak-anak bahwa dengan berpikir
positif, selalu optimis, akan berdampak pada kehidupan yang lebih baik pada
kesehatan, kejahteraan, hubungan sosial, dan sabar sampai akhir khayat.
“Terdapat hubungan yang kuat
antara kinerja dan cara pegawai-pegawai merespon kesulitan. Orang yang merespon
kesulitan secara optimis diramalkan lebih bersikap agresif, dan lebih berani
mengambil resiko. Anak-anak dengan respon-respon pesimis terhadap kesulitan
tidak akan banyak belajar dan berprestasi, dibandingkan dengan anak-anak yang
optimis”. (Stoltz, 2005, hlm. 93-95).
Semakin sering melatih anak-anak
berpikir positif terhadap hal-hal negatif, pikiran itu akan menjadi bagian otak
sadar dan semakin kuat menjadi kebiasaan bagian tak sadar otak. Seiring dengan
perubahan itu, hal terpenting akan terbentuk pribadi anak-anak yang lebih sabar
menghadapi kesulitan belajar dan tetap optimis.
Demikianlah cara mengajarkan
anak-anak agar memiliki kompetensi sabar. Kelak mereka akan jadi
pemimpin-pemimpin tangguh dan selalu optimis dalam menghadapi segala perubahan.
Wallahu ‘alam.
(Penulis Kepala Sekolah SMAN
Cipeundeuy KBB)
No comments:
Post a Comment