Saturday, February 16, 2019

PENDIDIKAN DALAM PUSARAN POLITIK

OLEH: TOTO SUHARYA

Meningkatnya suhu politik menjelang pemilu menjadi media belajar pendidikan karakter para peserta didik milenial. Saling hujat dan saling sindir di media massa yang ditampilkan para pendukung kekuasaan menjadi pendidikan karakter nyata bagi peserta didik. Media sosial yang menjadi sarana kampanye pendukung kekuasaan jadi sajian langsung bagaimana para peserta didik belajar berkomunikasi dan bersikap untuk menjadi warga negara yang baik.

Informasi pelecehan peserta didik terhadap guru, ujaran kebencian, dan dialog saling serang antar pendukung kekuasaan menjadi sumber pembelajaran bagaimana peserta didik menilai sebuah karakter pantas dan tidak pantas bagi seorang warga negara yang baik. Tahun politik menjadi ajang pembelajaran bagi peserta didik untuk melakukan introspeksi diri dalam melihat karakter bangsa merdeka yang didaulat sebagai bangsa santun dan beragama.

Nilai-nilai kesopanan dan kesantuan bangsa timur yang menjadikan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai tujuan utama dalam tujuan pendidikan nasional tengah mendapat ujian di tengah pusaran politik. Peserta didik bisa belajar mengkritisi dengan membandingkan prilaku masyarakat dalam berpolitik dengan nilai-nilai Pancasila sebagai turunan dari nilai-nilai agama.

Prilaku rakyat tidak jauh dari pemimpin yang dihasilkan. Jika pemimpin dipilih langsung oleh rakyat, maka kualitas pemimpin menunjukkan kualitas rakyatnya. Maka dari itu, dalam demokrasi langsung, untuk memperbaiki kualitas pemimpin harus dimulai dari peningkatan kualitas rakyatnya, karena rakyatlah yang memilih pemimpin.

Ibn Rusyd membagi jiwa manusia dalam tiga daya, yaitu daya pikir, amarah, dan syahwat. Maka untuk memperbaiki kulitas rakyat, harus dioptimalkan kemampuan daya pikirnya. Meningkatkan daya pikir tiada lain dengan cara menambah wawasan pengetahuan, ilmu dan hikmah dari berbagai macam sumber untuk mengendalikan amarah dan syahwatnya.

Kesantunan warga negara terhadap pemimpin digariskan dalam sebuah hadis, “Barangsiapa menaatiku, maka ia berarti menaati Allah. Barang siapa yang tidak mentaatiku berarti ia tidak mentaati Allah. Barang siapa yang taat pada pemimpin berarti ia mentaatiku. Barang siapa yang tidak mentaatiku berarti ia tidak mentaatiku. (HR. Bukhari dan Muslim).


Dalam kontek demokrasi, pemilihan para calon pemimpin tidak selayaknya dilakukan dengan cara saling menjatuhkan dan mengumbar kelemahan seorang calon pemimpin. Para calon pemimpin adalah orang-orang terpilih yang harus dihargai martabatnya sampai kelak jika terpilih jadi pemimpin.

Dunia pendidikan tidak boleh netral. Dunia pendidikan harus tetap memihak dengan mengajarkan tentang kebenaran dilandasi dengan sumber-sumber kebenaran. Tafsir-tafsir tentang kebenaran dari sumbernya tidak ditumpangi dengan kepentingan membela berhala-berhala yang bisa memecah belah persatuan. Keretakan sebuah bangsa diawali dengan adanya pemberhalaan terhadap para pemimpin.

Setiap individu yang akan diangkat jadi pemimpin berada di atas kehendak Tuhan dan berdasarkan kebaikannya dihadapan Tuhan. Didukung atau tidak didukung kepemimpinan dalam sebuah bangsa semua berada di atas kehendak Tuhan. Manusia hanya bisa berusaha mengampanyekan kebaikan demi kebaikan dari calon pemimpinnya dengan wajar tanpa berlebihan seperti membela Tuhan.

Jika negara kita sebagai negara berkeyakinan kepada Tuhan, maka yang pastas dibela mati-matian adalah eksistensi Tuhan. Para pembela Tuhan akan lebih mengutamakan persatuan, dan menjaga perdamaian sebagaimana keberadaan Tuhan adalah mempersatukan dan mendamaikan kehidupan manusia. Omong kosong kita membela Tuhan, jika rasa persaudaraan dan perdamaian diabaikan untuk sekedar membela makhluk Tuhan yang sama-sama menyembah Tuhan.    

Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, ada seseorang yang bertanya kepada Beliau, “kenapa pada zaman kamu ini banyak terjadi pertengkaran dan fitnah (musibah), sedangkan pada zaman Nabi Muhammad saw tidak? Ali ra menjawab, “karena pada zaman Nabi Muhammad saw yang menjadi rakyatnya adalah aku dan sahabat lainnya. Sedangkan pada zamanku yang menjadi rakyatnya adalah kalian. (htttps/rumaysho.com). Dialog ini mengabarkan bahwa demokrasi yang kita usung sangat bergantung kepada kualitas akhlak warga negaranya. Wallahu ‘alam.

(Penulis Kepala SMAN 1 Cipeundeuy KBB, Kandidat Doktor Pendidikan Sejarah UPI Bandung).

No comments:

Post a Comment

BERPIKIR CEPAT

Oleh: Dr. Toto Suharya, S.Pd., M.Pd. Berat otak manusia sekitar 1,3 kg atau 2% dari berat badan. Otak tidak pernah berhenti bekerja sekalipu...