Sunday, February 3, 2019

PENDIDIKAN HARUS KERAS

Oleh: TOTO SUHARYA

Ketika para orang tua, sangat bernafsu ingin mempidanakan guru, seharusnya dunia menangis mendengarnya. Sangat menyayat hati ketika guru dipidanakan gara-gara menegur anak tidak melaksanakan tugasnya.  Bukan kah itu tugasnya?

Guru-guru yang melakukan “kekerasan” dalam pendidikan tidak dapat langsung dipidanakan. Kekerasan dalam pendidikan tidak serta merta dapat ditafsirkan sebagai bentuk penganiayaan. Ruhnya, apa pun yang terjadi dalam pendidikan tidak lepas dari tujuan pendidikan.

Ketika guru melakukan pemukulan, kasus ini berbeda dengan pemukulan yang dilakukan oleh anak dalam tawuran, pemukulan oleh orang tua siswa terhadap guru, pemukulan oleh preman terhadap warga. Hal yang membedakan “pukulan” guru terhadap anak adalah niatnya pendidikan. Ketika siswa memukul siswa, orang tua memukul guru, tindakan mereka tidak diatur secara sadar dengan tujuan pendidikan.  

“Kekerasan” dengan niat pendidikan tidak bertujuan membinasakan, sedangkan kekerasan diluar pendidikan tujuannya membinasakan. Sekalipun dalam pendidikan, kekerasan tidak dibenarkan, tetapi dalam kondisi tertentu kita harus memahami, bahwa ajaran agama pun memberi sedikit peluang untuk “keras” demi pendidikan.

Maka dari itu, guru-guru yang melakukan “kekerasan” beliau tidak dapat langsung dipidanakan karena apa yang dia lakukan ada di ranah pendidikan. Sekalipun ada kekerasan yang dinilai diluar kewajaran pastilah tindakan itu sebagai bentuk kekhilafan atau keterpaksaan karena keadaan.

Kita seharusnya takut, ketika para orang tua memidanakan guru dengan sangkaan melakukan kekerasan, maka jangan-jangan pendidikan tentang kegigihan dalam menghadapi masalah, akan hilang dari sekolah. Menurut Stoltz pelajaran kegigihan atau  Adversity Quotient, adalah kecerdasan berupa kegigihan untuk mengatasi segala rintangan demi mendaki tangga kesempurnaan yang diinginkan, yang harus dimiliki setiap manusia.


“Hidup ini seperti mendaki gunung”, demikian kata Stoltz. Kami khawatir, upaya orang tua memidanakan guru hanya karena mencubit, akan jadi ajaran hidup lembek, lemah, dan mendidik mereka menjadi generasi quiters, yaitu generasi yang mudah menyerah sebelum menghadapi tantangan hidup.

Tidak ada agama yang mengajarkan umatnya menjadi quitter. Semua agama mengajarkan umatnya menjadi climbers. Itulah inti dari pendidikan. Contoh, Islam adalah salah satu agama mengajarkan kepada umatnya untuk menjadi manusia-manusia climber.

Tuhan telah bersumpah atas diri-Nya, bahwa “manusia diciptakan diharuskan menempuh susah payah”. (Al-balad ayat 4). Dalam sebuah tafsir resmi yang dikeluarkan Kemenag dijelaskan, manusia tidak bisa lagi hidup tanpa susah payah sebagaimana dialami oleh nenek moyang mereka, Adam dan Hawa di surga karena semuanya tersedia. Manusia harus berusaha, berjuang mencari rezeki, mengatasi berbagai rintangan, dan sebagainya.

Berdasarkan perjuangan itulah, Tuhan menilai manusia, semakin besar perjuangan, kegigihan, ketahanan terhadap derita yang dialami manusia, semakin besar manfaat yang dihasilkannya, dan semakin tinggi nilai manusia itu dalam pandangan Tuhan.

Begitu pula Nabi Muhammad di kota Mekah, Beliau berjuang agar kebenaran menjadi nyata dan kebatilan menjadi sirna. Demikian pula seluruh umat manusia. Jika manusia diharuskan menempuh susah payah oleh Tuhan, maka ini artinya ada kemampuan yang harus dimiliki manusia. Kemampuan itu seperti yang dikemukakan oleh Stolzt yaitu berupa kegigihan, kesabaran, dalam menghadapi rintangan.

Selanjutnya, C. Ramli Bihar Anwar menjelaskan manusia bukan hanya harus memiliki kegigihan dengan mengandalkan kemampuan dirinya sendiri, tetapi kegigihan yang menjadikan Tuhan sebagai sumber kekuatan. Untuk itu manusia harus mempunyai Adversity Spiritual Quaotient, kegigihan atas dasar keyakinan terhadap pertoongan Tuhan.

Para hali psikologi menyimpulkan unsur keyakinan memiliki peran penting dalam menumbuhkan kegigihan seseorang. Hasil penelitian Albert Ellis, faktor penentu keberhasilan seseorang 90 persen adalah keyakinannya dan 10 persen lingkungan. Keyakinan yang akan membuat seseorang gigih dalam mewujudkan impiannya adalah keyakinan bahwa Tuhan maha penolong, pemurah, dan mampu mewujudkan segala impian manusia.

Untuk itulah tugas para pendidik mencetak generasi-generasi yang punya kegigihan, daya tahan terhadap penderitaan, dalam mewujudkan impiannya. Jika dicubit saja lapor polisi, siapa yang akan jadi pewaris bangsa sebesar ini?  Wallahu ‘alam.

(Penulis, Kepala Sekolah dan Pengurus PGRI Kabupaten Cianjur)

No comments:

Post a Comment

BERPIKIR CEPAT

Oleh: Dr. Toto Suharya, S.Pd., M.Pd. Berat otak manusia sekitar 1,3 kg atau 2% dari berat badan. Otak tidak pernah berhenti bekerja sekalipu...