Wednesday, May 13, 2020

MENANTANG DEBAT CHARISMIADJI

Oleh: Toto Suharya
(Kepala Sekolah SMAN 1 CIpeundeuy Bandung Barat/Sekretaris DPP AKSI I)

Tulisan ini telah dimuat di beritadisdik.com. “Saya tidak pernah kalah berdebat kecuali dengan orang bodoh”. Selama Pak Charismiadji mewakili orang cerdas, saya pasti selalu punya argumen selanjutnya untuk mendebat. Jadi saya ingin sekali berdebat dengan Pak Charismiadi. Namun jika berdebat dengan orang bodoh, otak saya tidak sanggup menghadapinya karena perdebatan akan berjalan seperti tukang gali sumur semakin lama menggali semakin dalam hingga tidak sadar sudah berada di dalam sumur yang jauh dari realitas sosial.

Pernyataan-pernyataan Pak Charismiadji yang tendensius ditangkap bukan hendak memperbaiki kulaitas guru. Berpikir kritis bukan dengan mengutif pendapat orang atau karena mendapat laporan kasuistis dari beberapa orang. Jika dia pengamat pendidikan hendaknya melaporkan apa yang dia temukan berdasarkan hasil penelitian. Sebagaimana dikatakan Prof. Cecep Darmawan banyak faktor yang memengaruhi kinerja guru. Jika selama ini digadang-gadang pemerintah telah memberikan kesejahteraan kepada guru, memang benar itu terjadi. Tetapi dari tiga juta lebih guru yang ada tanpa membedakan ASN dan non ASN berapa yang sudah disejahterakan oleh pemerintah.

Selain itu faktor-faktor yang menyebabkan guru tidak berkualitas adalah Pengamat pendidikan yang tidak berkualitas. Pengamat yang seperti tukang kompor atau minyak wangi. Gembar-gembor supaya rame, semprot sana semprot sini supaya wangi. Saya angkat topi untuk Prof Rhenald Kasali, saya sering dengar dia mengkritik kampus, guru, tetapi dia berikan solusinya dengan membuat Rumah Perubahan.  Saya tidak pernah merasa direndahkan sedikitpun oleh kritikan pedas Prof. Rhenald Kasali, karena saya tahu dia sendiri menjadi pelaku pendidikan dan mengajak kepada semua melakukan perubahan. Saya baca buku beliau bagaimana melakukan perubahan dalam pendidikan dengan pembelajaran out the box menyuruh mahasiswa pergi ke luar negeri berdasarkan keputusan pribadi tanpa campur tangan orang tua, kemudian menuliskan hasil pengalaman seluruh mahasiswanya menjadi buku.
 
Menurut saya selama berada di Indonesia tidak pernah ada kebijakan yang memuaskan. Setiap kebijakan selalu menonjol di kiri mengempis di kanan. Orang selalu akan menemukan banyak kelemahan dari setiap kebijakan. Demikian juga dari sebagian guru yang sudah disejahterakan selalu ada yang belum optimal bekerja, dan itu berapa persen? Bukan dengan beropini di media masa dengan fakta kasuistis, lakukan sendiri penelitian jangan mengutif pendapat orang lain. Pengamat harus punya data penelitian sendiri, agar semua pernyataannya bisa dipertanggung jawabkan, bahkan diseminarkan bersama organisasi profesi guru, kepala sekolah dan para pemegang kebijakan.

Kalau tahu sepotong-spotong tentang dunia pendidikan jangan dulu menjual diri jadi pengamat. Sudah berapa ribu guru yang diajak diskusi, sudah berapa ribu sekolah yang diamati, sudah berapa kepala sekolah yang diajak berdialog? Apakah sudah pernah home visit ke rumah-rumah guru di pinggiran kota, pedesaan, di daerah perbatasan? Tong sangenahna. Masih banyak guru yang hidup di bawah garis kemiskinan bahkan dibawahnya lagi. Ketika saya diberi kesempatan bertemu dengan guru-guru PAUD, miris sekali honor mereka 50-250 ribu per bulan, dan ada yang sudah berjalan belasan tahun.

Hemat saya bicara tentang kualitas guru, masalahnya tidak selesai di pribadi atau profesi guru itu sendiri. Coba liat siapa yang produksi guru. Siapa yang ciptakan regulasi tentang guru. Bagaimana organisasi profesi guru? Lalu bagaimana kebijakan lembaga-lembaga yang kelola guru. Lalu siapa selama ini yang jadi guru? Kalau guru di Finlandia layak menurut saya untuk di kritik pedas, karena mereka lahir dari lembaga pendidikan terbaik, hasil regulasi dan para pembuat regulasi yang baik. Di indonesia mah, nu borok ngarorojok nu borok, jadi boroknya tidak sembuh-sembuh. Jadi, harus banyak mengungkap kebaikan agar jadi opini dan pola pikir masyarakat menjadi baik untuk memperbaiki keburukan.

Kata teman sejawat, apa yang dikatakan Charismiadji, ada benarnya 50%, ada salahnya 50%. Data penelitian dari mana? Katanya, “tidak usah sewot, jadikan saja sebagai pelajaran untuk kita guru-guru semua”. Pelajaran saya dapatkan langsung dari guru-guru, siswa, orang tua, serta mereka yang peduli dunia pendidikan, tidak dari pengamat yang teriak-teriak menggunakan corong media. Baiknya kita buktikan saja suruh pengamat itu terjun ke lapangan, berdebat, dan harus mengalami langsung apa yang terjadi sehari-hari dalam dunia pendidikan. Biar sudut pandangnya jadi holistik dan tahu dimana akar permasahalan dunia pendidikan kita. Selanjutnya, “soal ketertinggalan pendidikan Indonesia, itu PR besar Mas Menteri”. Seribu persen saya tidak percaya pada satu orang menteri bisa menyelesaikan masalah pendidikan Indonesia. Kalau tidak ada guru apa artinya menteri? Kecuali, setiap orang mau jadi sebagaimana seorang menteri berpikir dan mau menyelesaikan masalah di dunia pendidikan. Wallahu’alam.

No comments:

Post a Comment

MENGAPA GURU HARUS TERHORMAT

Oleh: Dr. Toto Suharya, S.Pd., M.Pd. Untuk menghormati guru, di Jepang tidak ada hari guru. Kisah ini dibagikan oleh Pak Susila dari Banten ...