Saturday, February 20, 2021

TUKANG BANGUNAN PEMBELAJAR SEJATI

OLEH: TOTO SUHARYA

Memperhatikan pekerja bangunan, sejak kecil saya telah mengenal mereka. Hidup dari kalangan ekonomi lemah dan lingkungan pendidikan rendah. Dia juga tidak melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang menengah, pendidikannya terputus mungkin karena ekonomi atau karena pendidikan orang tua yang tidak sadar bahwa pendidikan dapat mengubah nasib anaknya.

Kini setelah berkeluarga, punya anak, kontrak rumah, saya perhatikan anak yang dulu saya anggap tidak akan punya nasib baik, kini dengan tangkas dia mampu memasang keramik lantai dengan rapi. Mesin pemotong keramik dia gunakan dengan ahli, potongan-potongan terlihat rapi dan lubang-lubang kecil yang harus dibuat dipermukaan keramik dia buat dengan bulatan sempurna. Saya tidak habis pikir dari mana kemampuan teknis seperti itu dia miliki. Dia tidak sekolah dan tidak ada sekolah khusus untuk berlatih memotong keramik, pasang bata, meratakan tembokan dan mengukur lekukan dengan akurat.

Tukang bangunan bercerita bahwa dia menjalani menjadi tukang bangunan berjalan 6 tahun, sebelumnya selama lima tahun menjadi asisten tukang bangunan. Jika demikian, selam lima tahun asisten bangunan itu belajar untuk menjadi tukang bangunan. Bagaimana metode belajar asisten bangunan sampai menjadi tukang? Pembelajaran diawali dengan berani, mencoba dan terus praktek. Keberanian mencoba meniru apa yang dipraktekkan tukang, dilakukan saat waktu luang, atau jika ada sisa-sisa bahan bangunan yang belum terpasang. Waktu-waktu luang ini digunakan untuk praktek menjadi tukang bangunan, diawali dengan KERANIAN.

Tukang bangunan tidak memiliki sertifikat atau ijazah. Mereka menjadi tukang bangunan karena pengakuan dari teman sesama tukang, dan kepuasan pengguna jasa tukang bangunan. Hasil belajar dengan modal keberanian, memanfaatkan bahan sisa, waktu luang, adalah metode yang digunakan turun-temurun oleh tukang bangunan hingga keahlian ini tetap ada sekalipun tidak ada lembaga formal yang mengkondisikannya sebagai program belajar.

Anomali terjadi ketika anak-anak lulusan sekolah bekerja tanpa ketermpilan, sementara pekerja bangunan tanpa pengakuan lulusan pendidikan bekerja benar-benar mengandalkan skill yang dia miliki. Apa yang salah dengan pendidikan formal? Kemungkinan besar tidak melatih keberanian, kurang banyak mencoba, cenderung banyak bicara, dan materi pelajaran sangat tergantung pada buku teks yang secara substansial tidak membangun “keretampilan” sebagai modal ketika siswa lulus dan harus bekerja.

Jika dibandingkan dengan kebermanfaatan untuk hidup, belajar dengan cara yang dilakukan seperti tukang bangunan, pendidikan lebih efektif dan mensejahterakan. Sebaliknya hasil pendidikan formal kadang mengkerdilkan manusia dengan meremehkan kemampuan seseorang hanya karena sekedar tidak memiliki selembar kertas bergelar. Bahkan tidak sedikit terjadi karena selembar kertas bergelar, manusia menjadi terhormat dihadapan manusia dan rendah dihadapan Tuhan. Manusia terhormat dihadapan manusia tidak mau terhina dihadapan manusia, dan rela menjadi tuna kerja demi kehormatan ijazahnya. Pendidikan formal kadang melahirkan manusia-manusia lemah yang tidak mau berjuang dari bawah. Generasi formal telah bergeser menjadi penyembah kertas, tinggi rendahnya kualitas pekerjaan diukur dari penampilan. Dia rela berpenampilan kelas atas sekalipun penghasilannya kelas bawah. Generasi formal tidak percaya bahwa kualitas terbaik diawali dengan menghidupi diri sendiri dan menghidupi orang lain.

Berbading terbalik dengan tukang bangunan selama belajar sambil bekerja kualitas dirinya terus teruji, sebaliknya generasi formal semakin lama belajar kualitas dirinya semakin menurun. Generasi formal pendidikannya berakhir setelah wisuda, tukang bangunan tidak akan pernah ada wisuda karena selama hidupnya dia terus belajar.

Belajar dari fakta yang terjadi pada tukang bangunan, pendidikan formal harus berani berubah. Pendidikan formal bukan lagi mengajarkan tentang pengetahuan yang harus diketahuinya, tetapi kemampuan yang harus dikuasainya. Pembelajaran harus mengarah pada keterampilan apa yang harus dikuasai sesuai dengan kondisi dan kenyataan hidup yang ada di lapangan. Keterampilan-keterampilan hidup dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dimana siswa tinggal dan masalah mendesak apa yang harus diselesaikannya. Mereka membutuhkan banyak keterampilan mulai dari bernalar mengolah pikiran, mengendalikan emosi, menjalin hubungan baik dengan Tuhan dan memanfaatkan alat-alat hidup atau teknologi untuk membantu menyelesaikan masalah hidupnya.

Sejatinya kualitas pendidikan formal mutlak diukur dari apa yang diajarkan. Apa yang diajarkan di pendidikan formal sangat tergantung pada apa yang diskenariokan di atas kertas yang kadang sudah tertinggal. Menu pelajaran pekerja bangunan adalah kepuasan pelanggan, perubahan zaman dan penggunaan teknologi yang selalu mengalami perubahan. Bisa jadi metode belajar tukang bangunan melahirkan manusia-manusia berani, mandiri, dan bermanfaat untuk menghidupi orang lain, minimal lingkungan keluarga yang dibangunnya. Wallahu’alam.

2 comments:

  1. ayah saya adalah seorang tukang bangunan dan saya bangga padanya. apalagi setelah membaca tulisan yang bapak tulis di sini. Sayangnya, saya tidak mewarisi kemampuan seperti bapak saya karena saya memiliki perbedaan keinginan yang ingin saya lakukan.

    Pendidikan di Indonesia kebanyakan materi, minim sekali praktik. Pendidikan sekolah hanya belajar dan mengajarkan tentang yang ada di kurikulum saja. Padahal yang harus diajarkan sebenarnya adalah cara untuk menjalani kehidupan nanti setelah lulus sekolah. saat menjadi manusia yang sebenarnya.

    ReplyDelete

BERPIKIR CEPAT

Oleh: Dr. Toto Suharya, S.Pd., M.Pd. Berat otak manusia sekitar 1,3 kg atau 2% dari berat badan. Otak tidak pernah berhenti bekerja sekalipu...